Sabtu, 12 Desember 2015

TOGA DI PUCUK DEWI ANJANI



By: Muhammad Teddy Gunawan 

              Purwokerto, 13 Februari 2003


            Rara……
Sirna sudah anganku untuk meminangmu
Ku kira, semesta akan melapangkan jalanku dan menguatkan hatimu
Tapi ? Ah sudahlah….
            Andai waktu dapat diputar, andai waktu dapat dibekukan
            Aku pasti akan membekukan sedetik bersamamu untuk selamanya
            Namun, hidup ini cair…
Kini….
Kau telah bahagia dengan pengusaha kebun sawit itu
Sedangkan diriku, masih bergelut dengan tumpukan revisi
Dua tahun sudah aku tersakiti oleh sistem pendidikan ini
Entah karena sistemkah atau memang akulah yang bodoh
Janjiku tuk melamarmu di hari ini pupus sudah….
Berbahagialah, mimpimu menikah muda tercapai sudah

Kutarik napasku dalam-dalam, lalu kukeluarkan secara perlahan. Aku terdiam. Aku hanya bisa menelan ludah. Keningku mengkerut, air mataku jatuh tak terbendung membasahi secarik kertas ini. Ini adalah surat yang ditulis oleh sahabatku sendiri, Bram.
Aku tak tahu sehancur apa rasanya. Kekasih yang selalu menemaninya sedari duduk di bangku putih abu dulu, kini telah bahagia bersama lelaki asal Sumatera itu. Sebulan setelah putus dengan Rara, Bram semakin diruwetkan dengan undangan pernikahan yang dikirimkan Rara ke alamat kost Bram. Tak ayal kamar kostnya yang hanya berukuran 3 x 2,5 meter itu semakin berantakan dengan kertas-kertas skripsi yang bertebaran di setiap sudut kamar.
Aku tahu benar bagaimana Bram di kampus. Menurutku, Bram mahasiswa yang cerdas. Ia aktif di berbagai organisasi baik di dalam maupun di luar kampus. Kesibukannya tak mengganggu nilai kuliahnya sama sekali, bahkan, disaat aku masih bergelut dengan beberapa mata kuliah yang masih kuulang, Bram sudah selangkah lebih maju dengan kesibukannya bersama tugas akhir.
Semuanya sudah berlalu, sekarang aku sudah berdiri tegak mengenakan toga di puncak Gunung Rinjani ini, mimpiku semasa kuliah tercapai, tapi tidak untuk Bram. Padahal, ini adalah rencana yang aku buat bersama Bram semasa berpredikat sebagai mahasiswa baru dulu. Bram tersendat di penelitiannya. Katanya, dosen pembimbingnya seakan mempersulit dirinya untuk menyelesaikan strata sarjana. Entah karena masalah pribadi atau apapun itu, aku tak tahu.
Kutatap di sekelilingku. Ada bunga sandar nyawa yang menyejukkan mata. Ada dinding-dinding kaldera yang megah. Ada lautan awan yang menguning akibat pancaran sinar mentari. Ada pula Segara Anak yang begitu menakjubkan. Semuanya cukup menenangkanku, meski tak banyak. Namun, mataku hanya tertuju pada seonggok rerumputan liar di kiri kakiku. Rumput gunung itu seolah-olah ingin mengajakku bercengkrama. Halusinasiku memuncak.
“Apa yang kau tangisi kawan ?”
“Aku benar-benar merasa kehilangan sahabatku. Pikiranku mendadak kelam, aku tak tahu harus berbuat apa. Andaikan engkau merasakan apa yang aku rasakan saat ini,  kurasa warna hijaumu akan menguning dan membusuk di puncak ini”
“Sudahlah, hidup tak selamanya kekal kawan, meskipun dirimu dan dirinya seperti garis silang yang memberikan sesaat pertemuan lalu menghilang, setidaknya banyak pelajaran manis yang kau dapat darinya”
“Mudah memang jika hanya sekedar berucap….”
“Aku pernah sepertimu, sahabatku telah mati kering di puncak ini, terinjak kaki-kaki pendaki. Sama halnya dengan bunga sandar nyawa itu, hanya namanya saja bunga abadi, tapi tidak untuk raganya. Pendaki-pendaki egois memetiknya. Jangan terlalu berlarut dalam kesedihanmu kawan, ditinggalkan ataupun meninggalkan adalah siklus hidup yang sudah pasti terjadi”
            Embun di helai-helai daun rumput liar itu setetes demi setetes jatuh membasahi tanah. Seolah-olah ikut merasakan kesedihanku. Aku hanya bisa tersenyum kecil sembari mengepal kedua telapak tanganku, lalu kutempelkan di bawah dagu. Entah apa yang ada dibenakku, seolah-olah aku merasakan kalau rumput itu membalas semua curahanku. Ini gila!
            Waktu begitu cepat berlalu. Masih terngiang di kepalaku dengan kejadian dua minggu yang lalu, tepat satu semester setelah kelulusanku. Bram ditemukan sudah tak bernyawa di kamar kostnya. Kematian memang suatu hal yang wajar meski caranya yang tak wajar. Sungguh mengenaskan, lehernya terikat tambang kuning yang digantungkan di langit-langit kamar. Tubuhnya tergantung kaku dengan baju warna merah  yang ia kenakan. Di bagian depan bajunya disablon putih, bertuliskan “I’ll wait for your propose, Bram” dengan latar gambar siluet sepasang kekasih. Aku tahu betul, itu adalah baju pemberian Rara saat ulang tahunnya yang  ke 21. Aku tak pernah menyangka cinta benar-benar membutakan pikiran Bram.
            Tak ada gunanya lagi mengungkit bayangan kelam di masa lalu. Semua orang pasti mempunyai masalahnya masing-masing. Takdir memang di tangan Tuhan, tapi manusialah yang menentukan. Meski pendidikan bisa didapatkan dimanapun, selagi berpangkat sebagai mahasiwa, menyelesaikan akademis adalah suatu kewajiban yang harus dikerjakan. Setiap mahasiswa mempunyai versi terbaik untuk menyelesaikannya, meski tak sama. Tapi, apakah semua mahasiswa memiliki isi kepala yang sama ? Tentu tidak. Ya! Tidak semua orang mampu beradaptasi di bidang akademisnya dengan baik. Ah sudahlah….Aku hanya berharap semoga tidak ada Bram Bram yang lainnya.
            Toga di pucuk Dewi Anjani. Bram, ekspedisi kita telah usai, meski tak bersama, ekspedisi ini kupersembahkan untukmu. Surat yang tak sengaja kutemukan terselip di tas gunungku ini pasti akan kujaga selalu, Bram. Semoga surga menantimu.
*****