Purwokerto, 13 Februari
2003
Rara……
Sirna sudah anganku untuk
meminangmu
Ku kira, semesta akan melapangkan
jalanku dan menguatkan hatimu
Tapi ? Ah sudahlah….
Andai
waktu dapat diputar, andai waktu dapat dibekukan
Aku
pasti akan membekukan sedetik bersamamu untuk selamanya
Namun,
hidup ini cair…
Kini….
Kau telah bahagia dengan pengusaha
kebun sawit itu
Sedangkan diriku, masih bergelut
dengan tumpukan revisi
Dua tahun sudah aku tersakiti oleh sistem
pendidikan ini
Entah karena sistemkah atau memang
akulah yang bodoh
Janjiku tuk melamarmu di hari ini
pupus sudah….
Berbahagialah, mimpimu menikah muda
tercapai sudah
Kutarik
napasku dalam-dalam, lalu kukeluarkan secara perlahan. Aku terdiam. Aku hanya
bisa menelan ludah. Keningku mengkerut, air mataku jatuh tak terbendung
membasahi secarik kertas ini. Ini adalah surat yang ditulis oleh sahabatku
sendiri, Bram.
Aku
tak tahu sehancur apa rasanya. Kekasih yang selalu menemaninya sedari duduk di bangku
putih abu dulu, kini telah bahagia bersama lelaki asal Sumatera itu. Sebulan
setelah putus dengan Rara, Bram semakin diruwetkan dengan undangan pernikahan
yang dikirimkan Rara ke alamat kost Bram. Tak ayal kamar kostnya yang hanya
berukuran 3 x 2,5 meter itu semakin berantakan dengan kertas-kertas skripsi
yang bertebaran di setiap sudut kamar.
Aku
tahu benar bagaimana Bram di kampus. Menurutku, Bram mahasiswa yang cerdas. Ia
aktif di berbagai organisasi baik di dalam maupun di luar kampus. Kesibukannya
tak mengganggu nilai kuliahnya sama sekali, bahkan, disaat aku masih bergelut
dengan beberapa mata kuliah yang masih kuulang, Bram sudah selangkah lebih maju
dengan kesibukannya bersama tugas akhir.
Semuanya
sudah berlalu, sekarang aku sudah berdiri tegak mengenakan toga di puncak
Gunung Rinjani ini, mimpiku semasa kuliah tercapai, tapi tidak untuk Bram.
Padahal, ini adalah rencana yang aku buat bersama Bram semasa berpredikat
sebagai mahasiswa baru dulu. Bram tersendat di penelitiannya. Katanya, dosen
pembimbingnya seakan mempersulit dirinya untuk menyelesaikan strata sarjana.
Entah karena masalah pribadi atau apapun itu, aku tak tahu.
Kutatap
di sekelilingku. Ada bunga sandar nyawa yang menyejukkan mata. Ada
dinding-dinding kaldera yang megah. Ada lautan awan yang menguning akibat
pancaran sinar mentari. Ada pula Segara Anak yang begitu menakjubkan. Semuanya
cukup menenangkanku, meski tak banyak. Namun, mataku hanya tertuju pada
seonggok rerumputan liar di kiri kakiku. Rumput gunung itu seolah-olah ingin
mengajakku bercengkrama. Halusinasiku memuncak.
“Apa
yang kau tangisi kawan ?”
“Aku
benar-benar merasa kehilangan sahabatku. Pikiranku mendadak kelam, aku tak tahu
harus berbuat apa. Andaikan engkau merasakan apa yang aku rasakan saat ini, kurasa warna hijaumu akan menguning dan
membusuk di puncak ini”
“Sudahlah,
hidup tak selamanya kekal kawan, meskipun dirimu dan dirinya seperti garis
silang yang memberikan sesaat pertemuan lalu menghilang, setidaknya banyak
pelajaran manis yang kau dapat darinya”
“Mudah
memang jika hanya sekedar berucap….”
“Aku
pernah sepertimu, sahabatku telah mati kering di puncak ini, terinjak kaki-kaki
pendaki. Sama halnya dengan bunga sandar nyawa itu, hanya namanya saja bunga
abadi, tapi tidak untuk raganya. Pendaki-pendaki egois memetiknya. Jangan
terlalu berlarut dalam kesedihanmu kawan, ditinggalkan ataupun meninggalkan
adalah siklus hidup yang sudah pasti terjadi”
Embun di helai-helai daun rumput
liar itu setetes demi setetes jatuh membasahi tanah. Seolah-olah ikut merasakan
kesedihanku. Aku hanya bisa tersenyum kecil sembari mengepal kedua telapak
tanganku, lalu kutempelkan di bawah dagu. Entah apa yang ada dibenakku,
seolah-olah aku merasakan kalau rumput itu membalas semua curahanku. Ini gila!
Waktu begitu cepat berlalu. Masih
terngiang di kepalaku dengan kejadian dua minggu yang lalu, tepat satu semester
setelah kelulusanku. Bram ditemukan sudah tak bernyawa di kamar kostnya. Kematian
memang suatu hal yang wajar meski caranya yang tak wajar. Sungguh mengenaskan,
lehernya terikat tambang kuning yang digantungkan di langit-langit kamar.
Tubuhnya tergantung kaku dengan baju warna merah yang ia kenakan. Di bagian depan bajunya disablon
putih, bertuliskan “I’ll wait for your propose, Bram” dengan latar gambar
siluet sepasang kekasih. Aku tahu betul, itu adalah
baju pemberian Rara saat ulang tahunnya yang ke 21. Aku tak pernah menyangka cinta
benar-benar membutakan pikiran Bram.
Tak ada gunanya lagi mengungkit bayangan
kelam di masa lalu. Semua orang pasti mempunyai masalahnya masing-masing.
Takdir memang di tangan Tuhan, tapi manusialah yang menentukan. Meski pendidikan
bisa didapatkan dimanapun, selagi berpangkat sebagai mahasiwa, menyelesaikan
akademis adalah suatu kewajiban yang harus dikerjakan. Setiap mahasiswa mempunyai
versi terbaik untuk menyelesaikannya, meski tak sama. Tapi, apakah semua
mahasiswa memiliki isi kepala yang sama ? Tentu tidak. Ya! Tidak semua orang
mampu beradaptasi di bidang akademisnya dengan baik. Ah sudahlah….Aku hanya
berharap semoga tidak ada Bram Bram yang lainnya.
Toga di pucuk Dewi Anjani. Bram,
ekspedisi kita telah usai, meski tak bersama, ekspedisi ini kupersembahkan
untukmu. Surat yang tak sengaja kutemukan terselip di tas gunungku ini pasti akan
kujaga selalu, Bram. Semoga surga menantimu.
*****