Kamis, 06 November 2014

EKSPEDISI 4S

  Ini adalah pengalaman perihal ekspedisiku selama menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jawa Tengah, bertemu dengan teman-teman pendaki, sampai membuat tim AMPELA (Anak Mami Pecinta Alam).
   Awalnya, sama sekali tak terpikirkan olehku  untuk melirik olahraga alam bebas yang satu ini. Semenjak duduk di sekolah menengah atas,  aku sering sekali diajak teman untuk pergi mendaki gunung Pangrango yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolahku, SMA Negeri 7 Bogor. Tapi apa mau dikata, perasaan untuk menikmati keindahan alam melalui pendakian belum begitu membuatku tertarik. Namun sekarang semuanya telah berubah, mendaki telah menjadi hobi yang paling menyenangkan bagiku, itu semua bermula dari pendakian perdanaku di salah satu gunung Jawa Tengah.

1. SLAMET 3428 MDPL, JAWA TENGAH

       
 Semuanya bermula dari ketidaktahuanku. Jum’at , 29 Maret 2013 tepat pukul 14.00 WIB setelah solat Jum’at. Aku bersama Mas Chandra (orang yang mengajakku untuk camping di kaki gunung Slamet), segera memulai perjalanan bersama anak dan istrinya beserta rekan beliau, Mas Budi. Bermodalkan tas carrier pinjaman teman, tanpa basi basi aku langsung menaiki bagian belakang pick up yang dikendarai  oleh mas Chandra sendiri. Gerimis pun turun, aku bergegas mengambil mantel batman (jas hujan) yang berada di dalam tas carrier, aku dan mas Budi pun berteduh dibalik mantel batman.  Baru sekitar 50 menit perjalanan, ban mobil bagian belakang terperosok di jembatan kayu di tengah hutan lebat kawasan Palawi, Baturraden.  Kami pun terus berusaha mengungkit ban mobil menggunakan kayu dan batu. Tak lama kemudian dari arah yang berlawanan, terlihat dua mobil melintas, sesegera mungkin kami meminta pertolongan. Setelah kurang lebih 45 menit, kami pun dapat kembali melanjutkan perjalanan menuju basecamp gunung Slamet. Tepat pukul 16.00 WIB kami tiba di basecamp pendakian gunung Slamet, Bambangan, Purbalingga, Jawa Tengah. Sambil melihat pemandangan di sekitar, aku dan yang lainnya menyantap nasi bungkus dan gorengan hangat, sesedikit pula aku meminum kopi hitam hangat.
    Setelah istirahat dirasa cukup, kami pun melanjutkan perjalanan menuju spot pendirian tenda. Dua jam sudah kami berjalan melewati perkebunan sayur milik warga dan hutan pinus, hampir menuju batas hutan belantara. “ kok udah dua jam jalan tapi ga sampe-sampe juga ya ? katanya mau camping di kaki gunungnya aja, apa jangan-jangan kita nyasar ?“, gerutuku dalam hati.  Malam semakin gelap, namun Lintang, anak perempuan mas Chandra yg masih duduk di bangku sekolah dasar itu masih terlihat begitu semangat untuk melanjutkan pendakian. Melihat gigihnya semangat Lintang, aku pun juga tak mau kalah. Kuminum seteguk air dan angkat kembali tas carrier ke pundak.
  Diujung malam, akhirnya kami menemukan lahan kosong yang pas untuk mendirikan tenda kapasitas empat orang itu. Setelah tenda berwarna oranye berdiri kokoh diketinggian ±2000 meter diatas permukaan laut, dengan cekatan istri mas Chandra memasak untuk bekal makanan kami sebelum tidur. Sementara itu, kami merapihkan dan mempersiapkan peralatan tidur seperti Sleeping bag, Matras, dan lain sebagainya.
   Dingin di malam itu, terasa menusuk-nusuk tulang, aku pun keluar tenda untuk sekedar menghangatkan diri ditemani secangkir kimcil, kopi item gelas kecil. Terdengar suara Lintang merengek di dalam tenda, wajar Lintang memang terbilang masih sangat muda. Umurnya baru sekitar 6 tahun. Hujan mulai membasahi atap-atap tenda dan memaksaku untuk kembali masuk kedalam.
    Suasana seketika sunyi senyap sesaat setelah lagu Iwan Fals yang terdengar dari ponsel mas Chandra itu mati. "Ted, kemungkinan kita ga bisa melanjutkan pendakian nih, soalnya Lintang pengen pulang ditambah kondisi cuaca yang ga memungkinkan", jelas mas Chandra. "Hmmm, tapi mas...aku belum pernah satu kali pun melihat samudera awan, aku pengen banget lihat mas" rajukku. Setelah melakukan percakapan yang cukup alot akhirnya aku diizinkan untuk berangkat seorang diri, sebenarnya mas Chandra memang tidak mengizinkan karena aku belum punya pengalaman dibidang survival terlebih lagi kondisi cuaca saat itu memang tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian. Namun, melihat gigihnya semangat dan ambisiku untuk melihat puncak, akhirnya aku diizinkan.
   Pukul menunjukan 03.15 WIB, tepat sesaat hujan reda, aku mempersiapkan keperluan pribadi untuk melanjutkan perjalanan. Bermodalkan bekal secukupnya, senter dan jas hujan, aku memulai perjalanan seorang diri. Diantara kabut malam dan dingin yang menusuk tulang, terselip sedikit rasa takut. Meskipun demikian, tak sedikit pun menghalagi semangatku untuk menuju puncak. Aku hanya mengikuti jalur yang ada, ketika dihadapi persimpangan jalur, aku hanya mengikuti bekas jejak kaki pendaki lainnya. Suatu ketika, lampu senter yg menjadi satu-satunya penerangan yang kupunya mulai meredup, aku pun berlari secepat kilat sambil menyinari jalan yang berada dihadapanku dengan penerangan seadanya.
   Sinar mentari yang telah bangun dari tidurnya, mulai sedikit membantuku. Sesampai dibatas vegetasi menuju puncak, aku bertemu dengan pendaki lainnya. Lalu aku bergabung bersama mereka dan mengobrol banyak hal, mereka adalah mahasiswa jurusan sastra yang berasal dari Magelang. Bebatuan berpasir di batas vegetasi menuju puncak sungguh menyulitkan langkahku, ambisiku semakin membara ketika melihat puncak telah berada di depan mata. Dan sesampainya di puncak, mataku benar-benar terbelalak takjub melihat indahnya pesona ketinggian gunung Slamet. Terlihat jelas samudera awan berbalut tinta jingga terkena seberkas cahaya mentari terbit. "Wooy sini mas, kita ngopi-ngopi cantik!!", teriak mas Adi Kristianto, salah satu dari rombongan pendaki asal kota Magelang. "Okeeey siap mas", balasku sambil mengeluarkan makanan ringan dari dalam tas. Walaupun sudah mencapai puncak tetap terselip penyesalan, ya aku baru sadar ternyata kamera telah tertinggal di dalam tenda. "Ayo rek kita foto-foto bareng", ajak mas Hendra. Aku pun mendokumentasikan banyak gayaku ke dalam kamera digital milik mereka. "mas nanti fotonya tolong kirimin via fb atau ga twitter ya, soalnya kamera aku ketinggalan", ucapku sambil nyengir. "Oke siap tenang aja mas", jawab mereka serempak.
   Sekitar pukul 09.00, panas terik matahari langsung membuat kulitku merah seperti udang rebus. Kami pun memutuskan untuk turun. Lambat laun, karena letak pendirian tenda yang berbeda, aku dan mereka mulai berpisah. Sesampai dibawah aku kembali bertemu dengan mas Chandra, istri dan anaknya beserta rekannya, mas Budi. Setelah membersihkan diri didekat mata air, kami kembali menyantap nasi bungkus, lalu melanjutkan perjalanan untuk pulang. Hari itu sungguh membuat persaanku campur aduk tak karuan, disatu sisi aku merasa bangga, namun disisi yang lainnya aku merasa bersalah. Sesampainya di kosan, aku lansung membalas rasa lelahku dengan tidur di kasur tercinta.
   Banyak pelajaran yang aku dapatkan dari perjalanan kali ini. Dalam setiap kejadian pasti banyak hal yang tidak pantas untuk ditiru namun masih pantas untuk dikenang, hal yang tidak pantas untuk ditiru dari perjalananku kali ini adalah kerja sama tim. Aku sadar, aku begitu egois mendaki menuju puncak seorang diri tanpa memikirkan hal yang akan terjadi selanjutnya. Semoga kisah pendakian perdanaku ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua, bahwa puncak bukanlah segalanya, tapi kerja sama timlah yang utama.
    Beberapa bulan setelah pendakian ini, aku kembali mendaki gunung tertinggi di Jawa Tengah ini, dalam rangka pembersihan sampah di sekitar jalur pendakian dan sekedar fun camping bersama teman lainnya, namun dari beberapa kali mendaki gunung Slamet, aku hanya berhasil menggapai dua kali puncak. Puncak kedua ditemani Eko, teman kosan yang juga termotivasi karena kisahku.


2. SINDORO  3153 MDPL, JAWA TENGAH


   Sindoro, ini merupakan pendakian kedua diekspedisiku yang pertama. Semua terjadi spontan begitu saja tanpa ada perencanaan jauh-jauh hari. Sambil menyodok bola di salah satu tempat billiard & café terkemuka di Purwokerto, Awang, sahabatku di kampus sepontan berkata, “Ted, minggu depan kita nanjak bareng yuk, aku udah lama ga naik koh”. Karena olahraga alam bebas yang satu ini telah menjadi salah satu hobiku, tanpa pikir panjang langsung saja ku balas, “Ayo siap cuk, kita ke Sindoro aja bro”. “Sip broooh”, jawabnya sambil mengacungkan jempol kanannya, tanpa sadar kalau bola putih yg disodoknya ikut masuk kedalam lubang di sudut kanan meja billiard.
   Keesokan harinya, aku, Awang, dan Andry, pergi berkeliling menyusuri malam di sekitar Purwokerto. Andry adalah teman sekelasku di jurusan Akuntansi. Selain bersama Awang, bersama Andrylah aku biasa menghabiskan waktu nongkrong di malam hari. Setelah berkeliling mencari tempat nongkrong, berhentilah kami di salah satu angkringan yang letaknya berada persis di utara Pasar Wage. Sambil menyantap mendoan, makanan khas Purwokerto, aku dan Awang kembali memulai percakapan untuk membahas pendakian selanjutnya tak lupa pula kami mengajak Andry untuk ikut bergabung. Namun, karena belum mendapatkan izin dari orang tua, Andry hanya bisa menggelengkan kepalanya.“Gua belum dapet izin cuk, nanti ajalah kalo udah dizinin” ucap Andry sembari tertawa kecil. “Yaaaah”, ucapku bersama Awang serempak. “Mas kopi hitam satu ya”, teriakku kearah pedagang angkringan malam itu.
   Malam selanjutnya, tak ada kegiatan lagi setelah menyelesaikan tugas kuliah Perpajakan 2. Sambil melihat-lihat recent updated di blackberry messanger, aku melihat update-an display picture terbaru dari Andaru Pradityo. Di foto, terlihat dia mengenakan baju yang bertuliskan “Slamet Mountain”. Dengan respon yang cepat, langsung saja jariku mengetik papan keyboard mini itu,”Ceng lu suka naik gunung juga ya ? Sabtu kita ke Sindoro yuk”. Beberapa menit kemudian Darceng membalas dengan kalimat yang memang aku harapkan,”Wah kebetulan banget gua lagi free ted, ayolah gass jadiin lah bro”. Andaru Pradityo adalah seniorku di fakultas Ekonomi, karena sama-sama berasal dari Bogor, aku cukup dekat dengan dia. Dia biasa dipanggil dengan panggilan Darceng.
   Hari-hari berlalu begitu cepat, sehari sebelum memulai perjalanan, Yusi, teman sekelasku menyarankanku untuk mengajak Wino. Karena Yusi adalah teman yang aku percaya, aku pun memutuskan mengajak Wino untuk ikut bergabung. Wino adalah mahasiswa fakultas Ekonomi yang berasal dari Padang, Sumater Barat.
    Hari yang ditunggu itu pun tiba, setelah mempersiapkan berbagai peralatan pribadi dan kelompok serta logistik, kami pun memulai perjalanan menggunakan sepeda motor menuju Wonosobo. Pagi itu, kami berhenti sejenak di rumah Awang di daerah Purbalingga untuk mem-packing ulang perlengkapan kami. Sekitar pukul 13.00 setelah dzuhur, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Wonosobo.
   Tepat pukul empat sore lebih lima belas menit, kami tiba di kawasan Perkebunan Teh Tambi, Dieng Wonosobo. Setelah bertanya-tanya kepada penduduk sekitar perkenbunan, kami pun dipersilahkan untuk menitipkan motor di rumah ketua RT setempat. Sambil menikmati waktu istirahat, aku datang menghampiri petani yang sedang mengangkut hasil panen sayur mayur ke mobil bak. “Mas aku beli sayurannya campur boleh ?”, tanyaku kepada petani itu. “Wah boleh-boleh mas, mau beli berapa ?”, Tanya petani itu. “Sepuluh ribu aja deh mas, aku mau kentang, wortel, seledri, kol sama kacang buncis”, ucapku. Aku pun kembali  sambil membawa satu plastik sayur mayur. Sambil menikmati teh hangat yang telah disuguhkan bu Wardani, istri ketua RT setempat, kami pun mengeluarkan pisau lipat untuk memotong-motong sayuran yang telah kubeli barusan. 
  Setelah waktu magrib, kami memulai pendakian. Kuangkat tas carrier dan kupasang headlamp di kepala. Kami pun menyiapkan posisi, Awang berjalan dibagian depan sebagai leader, disusul Darceng, Wino, dan terakhir aku sendiri sebagai Sweeper. Setelah berjam-jam melewati perkebunan teh, akhirnya kami menemukan hutan mati gunung Sindoro. Aku pun mulai merasa risih dengan kehadiran Wino yang teriak-teriak ketakutan sambil berlari kesana kemari merusak posisi tim. “Ted plis bangeet gue takut, dibelakang lo ada pocong aaaah”, teriaknya. Saking takutnya, Wino pun berlari kedepan mendahului Awang, lalu kembali lagi bersembunyi dibelakang Awang. “Wang itu di depan ada cewek, gua takut iihhh”, teriaknya lagi. Tanganku sudah terkepal kuat ingin memukul Wino karena tidak bisa menjaga sikap selama di gunung, untung saja aku masih bisa mengontrol emosiku sendiri. “Tenang win, santai aja, dia ga bakalan ganggu lu kok”, ujar Awang. “Iya Win tenang aja sih, tetap jaga sikap”, sambut Darceng dengan nada yang cukup tinggi.                                                                  
  Setelah Selang beberapa saat, kami pun berhenti sejenak di bawah pohon yang cukup rindang. Kami memulai mengeluarkan kompor lipat, gas dan nesting, dan memulai memasak air untuk sekedar membuat susu hangat. Sambil menikmati roti tawar dan susu hangat, kami memandang ke arah dataran tinggi Dieng, terlihat jelas warna-warni lampu menghiasi desa tertinggi di pulau Jawa itu. “Ya Allah, begitu indah ciptaanMU”, ucapku takjub.  
   Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya kami menemukan spot yang pas untuk mendirikan tenda di sekitar hutan mati. Setelah selesai mendirikan tenda kamipun istirahat, kami sengaja tidak memansang cover dan flysheet agar kami bisa melihat bintang yang bertaburan di langit malam itu, kebetulan saat itu cuaca cerah. Namun lagi-lagi Wino membuatku risih. Dia selalu berbicara apa yang dia lihat tentang hal-hal aneh. 
   Sebelum melanjutkan perjalanan, kami memasak sop, sosis dan nugget goreng agar fisik kami tetap kuat melanjutkan pendakian sampai puncak. "Ted gua jaga tenda aja dah gua ngantuk", ucap Darceng "Laaah priwe ceng ?", ucap Awang. "Udeh kagak ngapa, berangkat buru udah siang nih", balasnya lagi. Kamipun memulai perjalanan hanya bertiga, karena estimasi perjalanan dari hutan mati menuju puncak tidak tepat ditambah sebelumnya kami bangun kesiangan, kami terpaksa harus merelakan sunrise. Saat itu kami sampai sekitar pukul 07.30 pagi di puncak gunung Sindoro. "Duh Ted panas banget, gua turun duluan ya ?", ujar Wino kepadaku."Jangan Win bahaya! Ini gunung bukan gang sadar!", jawabku spontan. Namun Wino tetap nekat, benar saja, petakapun terjadi aku dan Awang kehilangan jejak Wino. "Lah, itu syal Wino wang", ucapku sambil menunjuk kearah syal yang tergantung diantara pepohonan edelweiss. Aku dan Awang terpaksa turun melalui jalur yang berbeda, hampir satu jam mencari akhirnya aku dan Awang menemukan dia di bawah pohon dengan muka yang pucat akibat kelelahan. Sesegera mungkin kuberi dia minum dan roti untuk sekadar memulihkan energinya. Setelah istirahat beberapa saat, kami kembali naik ke atas dan memutar karena jalur yang kita lalui salah. hampir satu jam setelah itu akhirnya kami sampai di tenda.
   "Woi Ted, Wang, Win", teriak Darceng dari atas. "Lu muncak ceng ?", teriakku. "Yoi meen", jawabnya sambil tertawa. Lalu aku memasak untuk makan siang sementara itu Awang dan Darceng membongkar tenda. "Ted minta airnya ya buat cuci muka, takut muka gua tumbuh jerawat",  ucap Wino sambil tertawa kecil. 
    Kami tiba kembali di kaki gunung Sindoro sekitar pukul 18.00. Setelah istirahat membersihkan diri, kami kembali menikmati teh hangat buatan bu Wardani. "Win lain kali jangan kayak gitu lagi ya, bahaya turun sendirian, jalur yang lu lewatin tadi tuh jalur air, coba kalo hujan ?", ucapku kepada Wino. "Iya Ted maaf", ucapnya sambil menunduk. Pukul 20.00 kami pamit pulang kepada ibu dan bapak RT setempat, tak lupa kami ucapkan terima kasih banyak atas kebaikan mereka. 
     Pendakian kali ini memang menyajikan banyak hal yang layak untuk diceritakan, begitu banyak hal yang pantas untuk dikenang meskipun tak pantas untuk ditiru. Pelajaran dari pendakian kali ini, kerja sama tim memang sangat dibutuhkan. Sebenarnya Wino adalah orang yang sangat baik, aku masih memaklumi Wino, karena ini memang pendakiannya yang pertama kali. Beberapa bulan setelah pendakian ini, Wino pindah dan melanjutkan studi di negeri Cina. 

3. SUMBING  3371 MDPL, JAWA TENGAH

Burjo, tempat biasa aku dan Awang nongkrong sambil mengisi perut yang kosong. "Wang, hari senin minggu depan kan ada libur tuh. Gimana kalo kita nanjak  ? berangkat Jum'at sore", ajakku. "Oke, nanti pikir-pikir dulu ya", jawabnya sambil menghisap rokok.
TO BE CONTINUED













4. SEMERU 3676 MDPL, JAWA TIMUR

 Perjalanan menuju Jawa Timur memang membutuhkan persiapan yang lumayan lama, hampir sekitar dua bulan. Awalnya aku hanya berangkat bertiga bersama teman di organisasi luar kampus namun, kesibukanlah yang memaksa kami untuk  membatalkan rencana menuju kesana. Dua minggu sebelum ujian tengah semester aku kembali membuat plan menuju kesana dengan tim lain. Dan ternyata banyak respon positif dari tim Ampela, mereka juga mempunyai hasrat untuk melakukan pendakian di gunung tertinggi di pulau Jawa itu. Ampela adalah kependekan dari "Anak Mami Pecinta Alam". Ampela sendiri terdiri dari mahasiswa Akuntansi B Unsoed angkatan 2012 yang mempunyai hobi backpacker/traveling tapi tetap mencintai maminya (hehe). Awalnya kami berangkat bertujuh, namun karena Awang dan Aldi ada kegiatan yang sama pentingnya, Akhirnya kami berangkat hanya berlima, yakni Adit, Ipang, Fahmi, Billy dan aku sendiri. 
   Setelah melakukan berbagai persiapan peralatan, logistik, fisik dan lain sebagainya, tepat pada tanggal 1 November 2014 sehari setelah ujian tengah semester para Ampela berangkat menuju Malang. Pukul 05.30 WIB kami berangkat dari stasiun Purwokerto menuju Surabaya menggunakan kereta, di Surabaya kami hanya sekedar transit sebelum melanjutkan perjalanan menuju Malang. Karena ada keterlambatan kereta, kami sampai di stasiun Gubeng Surabaya sekitar pukul 04.15 dua jam lebih lama dari jadwal yang sudah ditentukan. Kamipun melanjutkan perjalanan, tepat pukul 21.30 WIB aku dan teman-teman sampai di Kota Apel tersebut. Sesampai disana kami langsung melakukan negosiasi untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju terminal Arjosari, namun kami tidak menemukan kesepakatan harga dengan supir angkutan umum tersebut, lalu kami berkeliling dan bertanya-tanya kepada warga sekitar perihal tempat peristirahatan terdekat dan aman. Lagi-lagi kami tidak menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan kami, kami memutuskan untuk beristirahat di taman Trunojoyo yang letaknya tidak terlalu jauh dari stasiun Kota Malang Baru. Baru sekedar duduk dan meluruskan kaki datang salah seorang penjaga taman, "Maaf mas kalo mau tidur di taman sebelah saja, pagarnya mau saya kunci", ucap salah seorang penjaga taman tersebut. Lalu kami pindah ke taman yang letaknya juga tidak terlalu jauh dari taman Trunojoyo. "Ted kita makan yuk ah laper nih", ajak Adit, tanpa banyak bicara aku langsung mengeluarkan nesting dan kompor lipat untuk memasak kentang goreng. Sambil menunggu kentang matang, tiba-tiba datang segerombolan anak kecil "Mas, itu apa ?", ucap salah seorang anak "Mas aku mau ya", sahut yang lainnya. "Iya aku juga mau, aku juga mau", ucap mereka. "Oke, sabar ya, bentar lagi mateng kok", ucapku dengan nada pasrah. Setelah menyantap makanan ala akadarnya, kami istirahat secara bergantian agar tetap ada yang menjaga tas carrier. 
   Jarum jam menunjukkan pukul 04.00, kami kembali melakukan negosiasi dengan supir angkutan umum lainnya. Setelah beberapa waktu melakukan negosiasi, akhirnya kami menemukan kesepakatan. Perjalanan menuju Pasar Tumpang kurang lebih sekitar 45 menit. Sesampainya disana kami istirahat dan solat di Masjid yang jaraknya tidak terlalu dari Pasar Tumpang, sekitar 200 meter. "Temenin gua ke pasar dong men buat beli logistik yg kurang", ajakku kepada para Ampela. "Ayo Ted, sama gua aja", ucap Fahmi. "Gua ngikutlah", sambut Ipang. Disaat yang bersamaan, Adit pergi membersihkan diri di kamar mandi umum terdekat, sementara Billy menjaga barang-barang kami. Setelah berkeliling mencari pembekalan untuk di gunung, akhirnya kami kembali ke rombongan dengan membawa satu plastik berisi telur, sayur-mayur, tahu, tempe dan lain sebagainya. "Bro mendingan kita nunggu jeepnya diatas aja", ajak Billy sambil menunjuk ke arah banner yang bertuliskan "Basecamp Bromo Tengger Semeru". "Ayolah gas", ucap Ipang. Setelah memasukan semua perbekalan, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Sesampainya disana, sambil menunggu jeep datang, kami membersihkan diri dan Adit menjaga barang. 
   Pukul 08.30, kami berangkat menggunakan mobil jeep bersama empat orang rombongan asal Kalimantan dan dua orang berasal dari Semarang. Namun, ketika waktu menunjukkan pukul 09.15 setelah memasuki kawasan Bromo Tengger Semeru mobil kami mogok, dan terpaksa kami harus menunggu sekitar setengah jam lebih. Sambil menunggu mobil pengganti, kami mengobrol dengan para pendaki lainnya di tepi jalan raya. Pukul 09.50, kamikembali melanjutkan perjalanan dengan mobil yang berbeda. 
   Pukul 11.00 kami tiba di basecamp Ranupani, tempat dimana pendaki gunung Semeru berkumpul sebelum melanjutkan perjalanan. Sambil membongkar ulang peralatan dan logistik, kami mengurus identitas diri dan surat-surat lainnya. Sementara itu, rombongan asal Kalimantan telah melakukan pendakian terlebih dahulu. Pukul 13.30, setelah mem-packing ulang semua peralatan dan logistik dan setelah istirahat dirasa cukup, kami melakukan doa bersama dan memulai pendakian. Setelah beberapa jam mendaki, aku dan yang lainnya dikagetkan dengan kobaran api di sekitar Landengan Dowo dan Watu Rejeng. Namun, kami masih bisa melewatinya, lalu kami kembali mengatur posisi. Seperti biasa, orang yang paling depan sebagai leader dan yang paling belakang sebagai sweeper. Ketika leader ataupun sweeper lelah, yang lain bertukar secara bergantian.
    Sore hari menjelang maghrib, kami tiba di surganya gunung Semeru, ya! Ranu Kumbolo. Cuaca hari itu memang sangat tidak bersahabat, baru saja ingin memulai mendirikan tenda, tali frame tenda kami putus diterjang badai pasir. Setelah memutar otak akhirnya aku kami bisa menyambung frame kembali dan tenda bisa berdiri. Tak lama kemudian, badai kembali datang, aku dan Adit sampai kewalahan memasang flysheet, meski akhirnya aku dan Adit berhasil memasangnya dengan menggunakan tracking pole. Karena cuaca tidak memungkinkan, kami hanya memasak kentang goreng dan membuat agar-agar yang kami masukkan kedalam botol kosong, lalu kami melanjutkan istirahat.
    Pagipun tiba, sambil meminum teh hangat yang sudah kami buat sebelumnya, kami memulai memasak sop sayur-sosis- tahu, nasi, tempe goreng. Sambil memasak, datang seorang lelaki menghampiriku. Ya dia adalah Bintang, Bintang adalah teman Awang yang juga berasal dari Purbalingga, sekarang dia bekerja di salah satu penerbangan di Tanggerang. Setelah menyantap sarapan bersama-sama. Aku dan Ampela berfoto-foto ria di Ranu Kumbolo, sementara itu Bintang dan rombongannya kembali melanjutkan pendakian menuju Kalimati.
      Setelah puas berfoto-foto, kami membongkar tenda dan kembali mem-packing barang. Lalu kami berdoa sebelum melanjutkan pendakian. Pendakianpun dimulai, tak lupa aku membawa sebotol agar-agar yang telah kami buat semalam dan telah kami rendam di air Ranu Kumbolo. Setelah melewatkan "tanjakan cinta" kami beristirahat sejenak sambil menikmati agar-agar. Setelah istirahat dirasa cukup kami kembali melakukan pendakian, namun kami dikecewakan dengan melihat oro-oro ombo yang kering kerontang tak berwarna dan sebagian lagi telah terbakar. Namun hal itu tidak memudarkan semangat kami untuk menggapai puncak Mahameru. Kekecewaan kami semakin memuncak ketika kami bertemu kembali dengan rombongan asal Kalimantan yang sedang turun di dekat Cemoro Kandang. "Hati-hati ya bro, diatas lagi ada kebakaran besar dan badai pasir", ucap salah seorang dari rombongan tersebut. Lalu kami juga mendengar kabar dari pendaki lainnya bahwa diatas ada salah seorang pendaki yang tewas tertimpa batu di batas vegetasi menuju puncak. Ya, badailah yang mengakibatkan batu-batu jatuh dan berhamburan. Setelah berjalan beberapa saat sesudah melewati Cemoro Kandang, kami memutuskan untuk istirahat sambil memasak minuman berenergi. "Bang, mending kagak usah naek dah. Apinya gede banget, ane aja ama rombongan sampe sesak napas", ucap pendaki yang baru turun dari atas. "Yaaah, yaudah dah sini bang istirahat dulu, minum-minum dululah", ajakku dengan perasaan yang campur aduk.
    Melihat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan pendakian, akhirnya kami memutuskan untuk turun. Hawa panas siang itu sangat terasa, asap dari kebakaran hutanpun terlihat mendekati kami. Sebenarnya kami bisa menginap semalam lagi di Ranu Kumbolo sambil berharap turunnya hujan, namun logistik kami hanya cukup untuk bertahan selama tiga hari.
    Setelah maghrib, kami tiba di Ranupane. Karena jeep di malam itu sudah tidak ada, kami memutuskan untuk mendirikan tenda dan menginap semalam. Pukul 11.00, aku dan para Ampela lainnya memulai perjalanan menuju Pasar Tumpang menggunakan jeep, diperjalanan menuju jeep, kami melihat para rangers dan tim SAR yang berhasil mengevakuasi dan membawa korban dari atas gunung. Duka sangat yang sangat mendalam menyelimuti pagi itu.
    Ini merupakan pendakianku yang ke sepuluh, perjalananku bersama Ampela saat itu memang penuh suka dan duka, walaupun kami tidak berhasil sampai puncak, kami tetap bersyukur masih diberi kesehatan. Berkat keterlambatan mobil jeep, aku masih bisa menceritakan kisahku di dalam blog ini. Andaikan mobil jeep tidak mengalami masalah, mungkin ceritanya akan berbeda. Puncak memang bukanlah segalanya, sampai di rumah dengan selamat adalah yang utama. Namun, di benakku masih tersimpan hasrat menuju Mahameru, puncak tertinggi pulau Jawa. Suatu saat aku pasti kembali. Terima kasih Ampela.

2 komentar:

  1. Wah, sangat menginspirasi. Ditunggu cerita selanjutnya ya kak. Semoga bisa mencapai puncak Mahameru dan puncak " Lainnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Blog ini ditulis ditahun 2014 kak 😂😂 mungkin yang punya akun nya udah ngak aktif lagi

      Hapus