Ini adalah catatan salah seorang pentolan Mayapada yang saya ketik ulang bersamaan dengan HUT Mayapada yang ke 36 pada 3 September tahun lalu, beliau adalah Agus Y. Ranu ('ndoet), salah seorang Mayapadawan asal Bogor yang bekerja sebagai Fotografer
dan Dosen Fotografi Di Universitas Bina Nusantara (Binus).
BERGURU DAYA HIDUP
DARI ALAM RAYA
Refleksi Singkat 36
Tahun Keberadaan Mayapada
Refleksi ini meskipun
singkat tapi juga menghabiskan banyak halaman. Biar bisa dibaca enak secara
acak, tulisan ini diorganisasi menjadi tiga bagian utama, yaitu pergumulan
hidup, daya hidup yang mau dipancarkan, dan quo vadis Mayapada. Pegumulan
hidup sepanjang 36 tahun mau ga mau harus dibreakdown melalui periodisasi. Juga
ga mungkin menuliskan seluruh dinamika yang terjadi selama lebih dari tiga dekade,
karena akan menyebabkan tulisan sejarah lengkap yang mustahil dilakukan hanya
berdasarkan ingatan dari ketiadaan arsip yang bisa diacu akibat tradisi tulisan
yang begitu lemah di perhimpunan. Maka sebelum memori otak kiri saya terbatas itu
makin meredup, saya merekonstruksikan pencapaian terpenting di setiap periode.
Bagian
kedua menyorot daya hidup Mayapada yang memunculkan eksistensi selama 36 tahun,
yang disarikan dari eksplorasi sepintas kehidupan beberapa dari kita yang
mencerminkan prinsip dan keutamaan Mayapada sebagai organisasi pecinta alam.
Memang ini pengamatan yang terbatas dan mungkin saja bias, tetapi memang
tujuannya bukan untuk mengguliti pribadi per pribadi tetapi lebih untuk
menemukan benang merah relevansi dan signifikansi dari nilai kearifan mencintai
alam yang hidup dan diharapkan oleh setiap anggota Mayapada.
Refleksi
ini lebih didasari hasrat menorehkan catatan kecil untuk memaknai euforia kebangkitan
kembali perhimpunan, maka nuansa emosional mungkin mengalahkan logika yang
semestinya terjaga. Penggunaan terminologI yang salah, pilihan kata dan
redaksionalnya yang kurang pas, bahkan penempatan perspektif yang tidak
sesuai dengan karakter Perimpunan sangat mungkin terjadi. Juga tak terhindarkan
ada bicara tentang diri sendiri meski sudah mencoba menghindarinya. Mohon maaf
yang mendalam untuk segala kesalahan itu dan mohon kiranya berkenan memberikan
masukan untuk perbaikan.
PERGUMULAN 36 TAHUN
MAYAPADA
1. Periode
Pembentukan, 1977-1983
Secara sadar Mayapada tidak
pernah berpretensi membangun ekslusifitas dengan anggota yang hanya mahasiswa,
tetapi bagaimanapun Mayapada memang tak bisa jauh-jauh dari kampus sejak
kelahirannya. Diprakarsai oleh sejumlah civitas academica Unsoed dan kalangan
lain, PPA Mayapada berdiri sejak 1977. Pengurus inti pertama adalah I.J.
Samojo, Pitriansyah Kosim, Hindun HS, Endang Sukendro, dan A. Bambang
Wisanggeni. Sementara pada masa kepengurusan kedua dikomandani oleh ketua umum
Endang Sukendro.
Hampir
setahun kemudian para founding-fathers ini mampu merumuskan AD/ART sebagai
konstitusi yang memandu gerak langkah perhimpunan. Penyelenggaraan RUA untuk
menetapkan AD/ART diketuai oleh Hartoko, Indramawan sebagai Sekretaris, dan
Woro Irawati sebagai Notulis. RUA dilaksanakan di Jalan Ahmad Yani No. 35
Purwokerto.
Sosialisasi
AD/ART nampaknya menjadi program di periode ini karena kami menerima warisan
beberapa eksemplar cetakan stensil AD/ART, yang sangat mungkin produk dari
teknologi pengadaan dokumen yang amat popular dipenggal waktu itu.
2. Periode Anti
NKK/BKK 1983 - 1985
Komposisi pengurus inti
adalah Agustinus Yohan Ranu ('ndoet), Widyastuti (Quenceer) dan Ani Widyastuti
(Ndoel). NKK/BKK adalah akronim dari normalisasi kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan, sebuah produk kebijakan rezim Soeharto di tahun 1978
dalam mengebiri aktivitas di kampus-kampus melalui sterilisasi para aktivis dan
organisasi mahasiswa kritis dan kontrol ketat atas kegiatan kemahasiswaan.
Mahasiswa dipaksa hanya menekuni kegiatan akademis. Gelombang protes mendera
beberapa kota basis utama gerakan mahasiswa Indonesia. Tetapi ancaman DO, pelopor
senapan dan sepatu lars militer sangat ampuh membungkam protes. Protes sunyi
segelintir mahasiswa Unsoed membawa permenungan panjang sembari menapaki
penjelajahan gunung dan hutan di penggalan tahun 1983 – 1985 menjadi blessing in disguise bagi Mayapada.
Buahnya memang memunculkan semacam pencerahan bagi Perhimpunan untuk merumuskan
dan mengambil langkah-langkah paling strategis yang cocok dengan situasi
kondisi kala itu.
Langkah
strategis itu memang masih berkutat pada strategi konsolidasi Mayapada kedalam
sebagai organisasi muda dan terbatas sumber dayanya. By design memang
memobilisasi segenap potensi yang terbatas kala itu untuk lebih berfokus pada
penguatan aspek internal Perhimpunan dalam frame mengembangkan pondasi kokoh
bagi gerak Perhimpunan kedepan. Satu pencapaian yang barangkali paling
strategis adalah pembakuan mekanisme
rekrutmen anggota sekaligus merumuskan sistem pendidikan intern: GDM (Gladi
Dasar Mayapada) dan konsep GLM (Gladi Lanjut Mayapada), dan menyelenggarakan
GDM 1985. Berikutnya, menetapkan atribut baru: syal dengan warna hijau muda
yang berbeda dengan warna bendera. Warna hijau muda dipilih sebagai visi dan orientasi
gerak Mayapada mencintai alam, menuju bumi kita hijau. Menyusul kemudian
menetapkan program tradisi GSK (Guyur Syukur Gemahan) sebagai program untuk
mengungkapkan rasa syukur atas sebuah keberhasilan. Saat itu kebanyakan memang
syukur atas kelulusan. Sepanjang yang bisa ditelusur tradisi ini bermula dan
mengambisi inspirasi dari camping di Srandil, syukuran lulusnya mas Kendro di
periode sebelumnya. Kemudian juga menggagas beberapa program jangka panjang:
RTM (Rute Tradisional Mayapada) dan Rute Alternatif Slamet Jalur Selatan.
Tetapi
memasuki penghujung periode terlahirkan pula sebuah karya sebagai persembahan
untuk masyarakat diluar Perhimpunan, yaitu JPA (Jambore Pecinta Alam) tingkat
SLTA se Eks Karasidenan Banyumas pada Oktober 1985 sebagai bagian dari
pendidikan ekstern. Saat itu mungkin untuk pertama kalinya seorang perempuan di
Perhimpunan dipercaya untuk memimpin kami di kepanitiaan. Dialah Mayapadawati
Ndoel.
Hubungan
baik dengan apparatus negara mulai dibangun pelan-pelan. Ada dua pejabat yang
menanggapi dengan lebih simpatik, yaitu Bupati Banyumas dan Danrem Wijayakusuma
waktu itu. Pak Roedjito dan Pak Sarjono. Dua bapak ini tidak sekedar memberi
bantuan finansial pada beberapa kegiatan, tetapi juga kesediaan untuk duduk
sebagai penasehat atau membuka secara resmi sebuah kegiatan. Melayani dengan
sabar dan hangat saat kita melakukan audiensi. Bahkan ketika sudah tidak berada
di Purwokerto dan menjadi salah satu komisaris Pertamina di Jakarta, Pak
Sarjono, konon sering menanyakan perkembangan Mayapada kepada teman lain yang
kebetulan berjumpa.
Tetapi
ada juga pejabat yang memberi janji kosong. Tahu kan sekretariat kita masih
nomaden? Mayapada selalu berpindah sekretariat mengikuti anggota yang bersedia
berbagi dan meminjamkan sementara kamar kostnya. Tersebutlah Kepala SKB (Sanggar
Kegiatan Belajar) Purwokerto waktu itu. Siapa namanya saya lupa. Sungguh. Dia
menjanjikan Mayapada bisa memakai salah satu ruang disana sebagai sekretariat.Wah surprise kita. Bukan kita yang minta tapi dia sendiri yang menawarkan ketika tahu Mayapada tidak punya sekretariat yang menetap. Senang bukan main dan langsung mengapresiasinya. Langsung kebayang akan terbebas dari repotnya nomaden dan tentu saja lokasi yang strategis di samping gedung pusat Administrasi Unsoed akan membawa nilai lebih bagi perhimpunan. Tetapi tawaran itu kemudian dibatalkan. Pernyataan seorang pejabat negara yang diingkari tanpa penjelasan yang memadai. Meski kecewa tapi saat itu kami maklum terhadap keputusan aneh sebagian aparat negeri kita. Kecewa tapi kita tidak rugi.
3.Periode Pertumbuhan 1985 -1989
Komposisi pengurus inti adalah Paryono MP (Pereks) yang berhenti antar waktu karena selesai kuliah yang kemudian digantikan Hotma Parulian Sihombing (Atmo), Nurhayati, dan Neni. Pada masa kepengurusan selanjutnya Atmo menjabat lagi, yang didampingi oleh Beni Patipelohi sebagai sekretaris dan Ami Mardina sebagai Bendahara.
Berselang hanya setahun sejak Perhimpunan mampu membakukan mekanisme penerimaan anggota baru sekaligus pendidikannya, dan berhasil menyelenggarakan GDM 1985 terasa betul gerak roda Perhimpunan menjadi begitu dinamis. Kebosanan terhadap belenggu NKK/BKK generasi lama seakan ditransformasikan menjadi kegairahan baru karena bergabungnya para junior angkatan GDM pertama. Sinergi angkatan lama dan angkatan baru mampu mendorong gerak maju Perhimpunan ke level terdepan, yang sebelumnya tidak pernah tercapai. Kader Mayapada produk GDM 1985 terasa betul berperan dalam pencapaian itu. Mungkin ini menjadi periode paling dinamis dalam perkembangan Mayapada. Saat itu juga kita melakukan amandemen konstitusi kita untuk pertama kalinya, sebagai langkah untuk menyelaraskan dengan ketentuan UU 8/1985 tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Periode ini juga ditandai dengan digarapnya bidang gerak konservasi alam dengan lebih serius. Seperti kita tahu konservasi alam dan olahraga alam bebas adalah dua medan gerak yang secara bersamaan menjadi konsentrasi kiprah Mayapada. Tetapi dalam penggal waktu ini, bidang konservasi alam mendapat penekanan yang lebih dalam dibandingakan sebelumnya. Perhimpunan saat itu menyelenggarakan PKA (Pendidikan Konservasi Alam) untuk LSM dan kalangan umum di Purwokerto dengan mengundang keynote speaker George Aditjondro, aktivis sosial lingkungan dan Hari Mulyadi dari Walhi Forda Jateng. Usai menyelenggarakan PKA, Mayapada semakin dikenal sebagai organisasi pecinta alam yang kompeten di bidang konservasi alam, dan membuat Mayapada sering diundang ke beberapa forum diluar untuk membahas masalah terkait konservasi alam. Tidak hanya level lokal, tetapi regional bahkan nasional. Mungkin terminologi "pendekar konservasi" yang sering muncul dalam perbincangan kita bisa dirunut dan bersumber dari pencapaian ini.
Kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi Mayapada juga muncul dalam wujud permintaan mentoring. Saat itu pihak SMA Yos Sudarso Purwokerto meminta Mayapada melakukan mentoring pembentukan kelompok pecinta alam di sekolah tersebut. Mentoring ini berlangsung sukses, terbentuk kelompok pecinta alam bernama Yodapala disana. Hubungan baik dengan Yodapala berlangsung hingga kelak, dan banyak dari anggota kelompok pecinta alam pelajar itu akhirnya bergabung menjadi anggota Mayapada juga. Ini sepertinya menjadi rintisan program mentoring Perhimpunan di beberapa sekolah lain di kemudian hari. Sementara itu di kalangan Mahasiswa Unsoed ada kelompok 31 yang semula mempunyai agenda menentang Latdasmil dan kebijakan Rektor memungut uang kesehatan untuk semua mahasiswa. Ketua umum dan beberapa anggota Mayapada merupakan eksponen kelompok ini. Ketika akhirnya common enemy sudah dikalahkan, gelegak energi aktivisme yang masih tersisa harus disalurkan ke kegiatan lain. Saat itu isu lingkungan hidup nampaknya mendapat tempat di hati para aktivis kampus itu, dan dianggap mampu menjadi wahana untuk tetap mempersatukan gerak perjuangan. Inilah embrio bagi munculnya forum dinamika kepecintaalaman Purwokerto di era mendatang, dimana Mayapada mengambil peran yang signifikan. Dalam konteks komunikasi sosial, mungkin ini menjadi periode paling menonjol dalam sejarah Mayapada hingga saat itu.
4. Periode Lima Syuhada 1990 -1993
Semula ketua umum dijabat oleh Endi Budi Hartoyo (Endi), dengan sekretaris Herman Sumarna (Herman) dan bendahara (Sri Hartiwiek) (Wiwiek). Endi kemudian berhenti antar waktu karena selesai kuliah dan digantikan Satria Ginting (Ginting). Pada masa kepengurusan selanjutnya Ginting didaulat kembali untuk meneruskan tongkat kepemimpinanya. Ia tetap didampingi oleh sekretaris dan bendahara sebelumnya. Tampaknya ini menjadi periode yang berat. Penuh tantangan dan bergulat melewati cobaan tidak ringan.
Hasrat menggeluti kegiatan terkait konservasi alam terdengar sangat bersemangat. Meneruskan kecendrungan yang terjadi di periode sebelumnya, tetapi di periode ini memunculkan aksi yang lebih jauh. Beberapa anggota menginginkan langkah lebih jauh bahkan sampai menggagas peluang mendirikan sebuah yayasan khusus yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Alasan yang dimunculkan saat itu adalah untuk memberikan keleluasaan gerak dengan penggarapan yang profesional atas permasalahan lingkungan hidup. Hingga akhirnya berdirilah LPLH (Lembaga Pengembangan Lingkungan Hidup), sebuah institusi yang terpisah secara organisatoris dengan perhimpunan. Sebuah yayasan yang bukan milik Perhimpunan meskipun terlahir dari rahim Mayapada. Anggota yang membidani pendirian ini adalah Benni Petepelohi, Bambang Pujiatmoko, Bambang Eko Sumarno dan Hindun HS. Perhimpunan diposisikan sebagai salah satu pendiri diantara empat pendiri lainnya. Kepentingan Perhimpunan direpresentasikan dengan kehadiran ketua umum secara ex-officio bersama empat pendiri lainnya, menjadi Badan Pengurus. Mereka mencatatkan akte pendiriannya di salah satu kantor Notaris di Purwokerto tepat di HUT Perhimpunan: 3/09/1992
Tegangan antara aktivitas dan program Perhimpunan dengan proses menggodok konsep, riset, menjajagi peluang , dan proses berdirinya LPLH menjadi warna yang cukup menonjol di periode ini. Praktis urusan LPLH membetot cukup banyak perhatian dan stamina Perhimpunan. Sebelumnya tegangan yang hampir sama meski dalam level yang lebih rendah juga terjadi ketika ada aspirasi sejumlah anggota Mayapada yang sudah meninggalkan Purwokerto dan berdomisili di Jakarta, untuk mendirikan cabang Mayapada dan semacam lembaga yang bergerak di bidang lingkungan hidup ibu kota. Meski begitu, tinta emas juga berhasil ditorehkan pada periode ini. Sebuah gelaran yang sangat berbeda: Sarasehan Wanita dan Lingkungan Hidup untuk ibu-ibu PKK se-Eks Karasidenan Banyumas. Mesinergikan peran seorang ibu dalam kegiatan pelestarian lingkungan hidup yang biasaanya kurang dilihat oleh penggiat lain. Ketua panitia Mayapadawati Galih. Ibu Bupati kala itu bertindak menjadi penasehat, yang membuat mobilisasi peserta lebih terbantu. Pembicaranya adalah novelis perempuan ternama NH. Dini. Sarasehan itu sendiri sudah merupakan pencapaian yang menarik, ditambah relasi dengan NH. Dini terjalin dengan amat baik sejak itu. Ia menulis profil Mayapada di harian Suara Merdeka, dan beberapa tulisan lain terkait himbauannya agar masyarakat peduli terhadap lingkungan hidup dimana di dalamnya juga Mayapada dimunculkan. Topik yang belum sepopuler sekarang. Ia terkesan dengan Mayapada yang dinilainya berani bergerak di tataran praksis, di level grassroot. Tidak seperti kelompok lain yang hanya bergerak dan berhenti di kajian konsep melalui seminar-seminar. Ia berharap Mayapada terus melibatkannya dalam kegiatan-kegiatan serupa.
Seturut namanya, periode ini ditandai dan dipengaruhi oleh peristiwa dramatis wafatnya Argo, Totot, Iwan, Rico dan Nano di gunung Slamet di awal 1993, sekembalinya mereka membuka rute alternatif Baturraden menuju puncak Slamet di awal 1993. Dari kelimanya, Nano memang belum sempat tercatat sebagai anggota Mayapada, tetapi ekspedisi ini adalah ekspedisi Mayapada, dan dia gugur ketika sedang menjalankan misi Mayapada. Nano adalah teman Argo di komplek perumahan karyawan PPTN IX Perkebunan karet Krumput Banyumas, tempat tinggal kedua orang tua mereka. Peristiwa ini memang menyedot perhatian masyarakat luas karena ada juga korban lain dari rombongan gabungan Jakarta dan Purbalingga, sebanyak lima orang juga. Jadi pada penanggalan waktu antara akhir Januari dan awal Februari 1993 itu total ada 10 orang korban meninggal ketika mendaki Slamet. Mungkin ini menjadi peristiwa kecelakaan dengan korban terbanyak di Gunung Slamet sepanjang sejarah pendakian gunung itu.
Duka Mayapada terasa begitu mendalam. Mereka adalah kader-kader terbaik Mayapada. Argo mungkin menjadi salah satu andalan perhimpunan untuk aktivitas terkait ORAB saat itu. Argo menjadi alumni GDM pertama, yaitu GDM 1985. Ia kala itu masih duduk di bangku kelas II SMA 2 Purwokerto. Rasanya menarik saat itu melihat peserta GDM yang masih pelajar diantara peserta lain yang kebanyakan mahasiswa. Bagi saya sendiri, Argo adalah referensi hidup terbaik Mayapada soal gunung Slamet saat itu. Ekspedisi kali itu adalah ekspedisi kedua. Argo dan Lucky juga terlibat dalam ekspedisi yang pertama bersama tiga teman lain. Lucky nampaknya punya potensi kuat untuk mendampingi Argo menjadi andalan bidang ORAB perhimpunan. Meski berbeda angkatan, kebersamaan mereka di Mayapada mungkin menjadi semacam reuni masa kecil, semasa kedua orang tua mereka sama-sama menjadi karyawan PTPN IX Jateng dan tinggal di komplek perumahan yang sama. Karena itu, mungkin keduanya menjadi semakin solid mengembangkan ekspedisi ini.
Aktivitas Mayapada di wilayah jejaring kerja nampaknya menjadi bagian penting dari pencapaian Perhimpunan di periode ini. Pada level lokal, Mayapada menjadi inisiator dan motor jaringan kerja bersama organisasi pecinta alam Purwokerto dengan nama Fordik, akronim dari Forum Dinamika. Akar dari jaringan kerja ini sudah mulai dirajut sejak periode sebelumnya, tetapi mencapai kepenuhannya di periode ini. Beberapa pekerjaan yang bisa kita selesaikan melaui jaringan ini: bersih Gunung Slamet, sweeping pengambilan eidelweiss jalur Bambangan, Latsar gabungan, dan pembuatan prasasti lima martir di tempat mereka ditemukan.
Kiprah kita di tingkat regional melalui jaringan LSM Jateng juga cukup signifikan. Kita dipercaya menjadi koordinator dan mengelola pusat informasi untuk Jateng bagian selatan. Jaringan ini dibentuk untuk advokasi PLTN G. Muria, pencemaran Bengawan Solo, pencemaran sungai oleh industri batik di Pekalongan dll. Mayapada mencoba mendesakan isu program BATDC (Baturraden Agriculture Tourism Developming Centre) dan menjadikan G. Slamet sebagai Taman Nasional melalui jaringan ini.
Sementara itu, kepercayaan khalayak terhadap eksistensi Mayapada juga semakin terlihat. Permintaan pendampingan bagi kelompok pecinta alam SLTA makin berdatangan. Program mentoring di Yodapala masih tetap dijalankan, ditambah melayani satu kelompok lagi di SMAN Banyumas.
5. Periodisasi Konservasionis 1993 - 1995
Komposisi pengurus inti adalah Bambang Supriyanto (Gambreng), Muhammad Nasir (Nasir), dan Purwanti (Ipunk). Nampaknya pengerahan kekuatan dan potensi Perhimpunan lebih terkonsentrasi pada bidang bidang konservasi dibandingkan mengeksplorasi bidang ORAB di periode ini. Setidaknya aktivitas di alam bebas bergaung cukup keras dan itu sering menjadi entry point aktivitas terkait konservasi alam. Mungkinkah akibat luka psikologis dari kepergian lima martir Mayapada yang belum sepenuhnya hilang ? hasrat kembali berpetualang ? Jawabannya: sangat mungkin. Tetapi saya menduga keberadaan dan kehadiran LPLH sejak periode sebelumnya nampak menjadi pemicu yang lain. Entah suara yang mendukung atau suara yang masih meragukan sumbangannya bagi keberadaan Perhimpunan menjadi nuansa yang mewarnai dinamika Perhimpunan saat itu.
Tetapi menariknya, alih-alih memunculkan dampak profesionalitas kelembagaan seperti yang sering diorasikan oleh para penggagasnya, dalam perjalanan selanjutnya LPLH justru mengalami semacam ketidakpaduan internal yang berujung dengan pemberhentian dua anggota Badan Pengurusnya. Hebatnya lagi, itu terjadi ketika LPLH masih seumur jagung. Belum juga menunjukkan kiprah apapun di bidang lingkungan hidup sebagai medan geraknya tetapi harus segera mengakhiri mimpi-mimpinya. Penyebab sesungguhnya memang tidak jelas. Tetapi pada tataran konsep sendiri sudah mengandung kelemahan. Dan diantara yang tidak jelas itu, pastinya Perhimpunan memang yang kemudian harus menanggung getahnya dengan membagikan perhatian kepada persoalan itu. Praktis pada periode ini Perhimpunan juga harus ikut jumpalitan menanggug beban ikut mencarikan solusinya.
Pengaruh kepergian lima martir begitu merasuk dalam sanubari insan Mayapada. Tak satupun dari kita memang yang imun dari haru biru kepergian mendadak lima saudara seperhimpunan ini. Pada periode ini duka itu masih tersisa, dan luka psikologisnya masih belum sepenuhnya hilang. Bertahun-tahun sejak kejadian itu , tak sekalipun Mayapada menyelenggarakan ekspedisi ke Slamet lagi. Ada beban berat yang seakan menggelayuti langkah kita menyambangi kembali Slamet yang pernah seperti menjadi seperti gunungnya kita sendiri. Seakan membuat kita tak sanggup untuk bertemu jejak dan petilasan mereka di puncak Slamet, karena tak sanggup membayangkan kesedihan yang akan muncul. Beban psikologis sebagai akibat dari kesedihan mendalam sebuah kehilangan. Kelak, hampir delapan tahun kemudian baru ada yang bisa menziarahi petilasan mereka di Puncak Slamet. Sebuah ekspedisi kecil beranggotakan enam Mayapadawan pada akhir April 2000 digelar sebagai rangkaian acara "Mengenang Sewindu Gugurnya Lima Saudara" yang sekaligus juga menjadi ikhtiar untuk menyembuhkan luka psikologis itu. Ekspedisi ini didahului dengan ziarah ke makam masing-masing dan silaturahmi dengan keluarga almarhum.
Aktivitas di jaringan kerja dan program mentoring ke beberapa kelompok pecinta alam sekolah masih menjadi warna di periode ini. Ini menjadi pencapaian yang menarik, sebagai sumbangsih Perhimpunan untuk masyasakat. Tradisi menyelenggarakan JPA (Jambore Pecinta Alam) untuk tingkat SLTA se-Eks Karasidenan Banyumas juga masih dilangsungkan di periode ini. Tetapi saya mendengar jumlah pesertanya hanya tujuh regu. Barangkali ini menjadi pencapaian terburuk dalam sejarah penyelenggaraan JPA, setidaknya jika ditinjau dari jumlah peserta. Memang ini memang menjadi JPA terakhir hingga saat ini. Sementara untuk rekrutmen anggota dan pendidikan intern, juga dilaksanakan GDM 1993 dan GDM 1994 dan mengalami hal yang sama, yaitu minimnya calon anggota yang mendaftar. Tetapi apakah memang hanya minat khalayak yang sudah sedemikian menurun penyebabnya ?
6. Periode Awal Kejatuhan Orba, 1995 -1996
Komposisi pengurus di periode ini adalah Pengki, Uwi, dan Koko. Sekali lagi pergolakan Republik berpengaruh terhadap dinamika Perhimpunan. Pengki, ketua umum saat itu menjadi bagian partai anak muda paling progresif sepanjang sejarah pegerakan Indonesia: PRD (Partai Rakyat Demokratik). Pengki merupakan eksponen dan salah satu deklarator SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), organisasi sayap PRD untuk mahasiswa di Purwokerto. Celakanya, Perhimpunan seakan menyesuaikan dengan perkembangan politik saat itu. Menyelaraskan gerak dengan situasi saat itu untuk memberikan jalan bagi kepentingan yang lebih luas. Bukan hanya kepentingan PRD. Bukan pula hanya kepentingan menumbangkan rezim lalim Soeharto. Tetapi kepentingan gerakan pro-demokrasi untuk menghadirkan sistem kenegaraan yang lebih pro rakyat dan demokrasi yang lebih sehat. Kita seakan merelakan ketua umum untuk berbagi konsentrasi dengan beberapa pekerjaan partainya. Juga seperti menyediakan sekretariat untuk rapat-rapat partai sekaligus sebagai fasilitas "akomodasi gratis" untuk ketua umum PRD Budiman Sujatmiko dan ketua Presidium SMID, Andi Arif kalau sedang mengadakan konsolidasi partai ke Purwokerto dan sekitarnya.
PRD akhirnya dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh rezim Soeharto. Tokoh-tokohnya ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Konon Pengki ditangkap saat mengikuti KKN. Dia tidak sampai dipenjara tetapi hanya menginap beberapa hari untuk interogasi dan harus beberapa kali memenuhi panggilan pihak kepolisian dan dihadirkan sebagai saksi pada sidang tokoh PRD lain di Jakarta. Tetapi ketua umum masih sempat memberikan mandat kepada sekretaris untuk menjalankan roda kepengurusan selanjutnya. Karena sudah sangat lama, surat mandat itu sudah tidak bisa ditemukan lagi. Menurut Koko, sejauh yang bisa dia ingat, Pengki memberikan mandat kepada Koko untuk waktu sebulan. Setelahnya dia akan kembali meneruskan roda kepemimpinannya. Tetapi tidak tahu pastinya, hanya saja yang pasti peristiwa itu mengiringi langkah pengurus Mayapada masuk dalam penjara ketidakmampuan menjalankan fungsinya. Pengki pada saat itu, yaitu mendorong kepengurusannya terjerembab dalam kubangan ketidakberdayaan meneruskan roda kepemimpinan organisasi sepanjang hampir 16 tahun kemudian!.
Sebelum ditangkap, ketua umum masih memimpin Perhimpunan untuk bisa menyelenggarakan GDM 1996. Catatan pentingnya adalah ini menjadi GDM terakhir, sebelum pengurus memasuki periode tidur panjang. Sejauh ini tidak ada yang ingat jumlah lulusannya, tetapi beberapa diantaranya adalah: Desi, Sara, Siti, Fian, Hulk, Sari Gajah, Badai, Ririn Cunonk, dan Billy. Mereka menjadi putra-putri bungsu Mayapada saat itu. Berselang waktu setahun sebelumnya pengurus periode ini juga melangsungkan GDM 1995. Jumlah lulusannya juga tidak bisa ditemukan data yang pasti hingga saat ini. Tetapi diantara mereka itu ada nama-nama: Pendel, Lina, Cunonk, Black, Yuyon, Kucir, dan Ateng. Meski hampir saja membuat Perhimpunan dikafani, dalam pandangan saya selayaknyalah kita juga mengapresiasi Pengki dan teman-teman pengurus lainnya atas komitmen mereka bagi proses regenerasi Perhimpunan. Karena selain memang begitulah seharusnya keadaban sosial kita hayati, juga karena sebagian lulusan GDM 1995 dan GDM 1996 itu menjadi tulang punggung lapangan dari gerakan mengembalikan kiprah Mayapada saat ini. Gerakan aspirasi arus bawah untuk mengembalikan potensi pengurus Perhimpunan yang lebih berdaya dan berguna.
7. Periode Hibernasi 1997 -2013
Hibernasi saya adopsi dari kata bahasa Inggris "Hibernate" yang berarti tidur panjang sepanjang musim dingin Makna itu pula yang saya ambil untuk menggambarkan kondisi Mayapada di periode ini, yaitu tidur panjang selama hampir 16 tahun. Saya memilih kata ini dibanding kata yang lain yang sering diwacanakan oleh teman-teman, yaitu kata mati. Hibernasi menurut saya lebih cocok karena masih adanya napas. Oksigen yang berhembus di paru-paru segenap insan Mayapada yang memunculkan daya hidup. Sepanjang 16 tahun itu saya melihat dengan jelas napas itu masih ada, meskipun lirih lemah. Meski napas itu tersengal-sengal tapi itulah tanda kehidupan. Selanjutnya juga ada dengkur yang terdengar sangat keras, yang masih saya representasikan dalam sosok pemberi dan penerima mandat yang masih eksis. Masih ada di Tegal Purwokerto. Tidak pergi ke tempat atau alam lain. Masih mampu berkomunikasi dengan Mayapadawati-Mayapadawan lainnya, meski kualitas komunikasinya buruk.
Tetapi memang pada awalnya pengurus juga tidak langsung menuju peraduan panjangnya. Terlihat sesekali Koko menunjukkan inisiatifnya. Paling tidak ada dua kegiatan cukup besar yang diselenggarakan Mawapadawati/Mayapadawan Purwokerto, yang sangat boleh jadi atas sepengetahuannya, : penghijauan di Gunung Tugel dan pelatihan SAR untuk pelajar STA. Bahkan Koko juga menjadi anggota milis yang cukup apresiatif, dan sempat datang juga di salah satu kesempatan "copy darat" di Grendeng. Koko bukan sama sekali tidak berusaha membuat perhimpunan terjaga kembali, tetapi upaya mungkin tidak cukup keras untuk membuat dengkur berhenti dan membuat langkah yang berarti. Inisiatif dan semangatnya kurang bisa kita baca dan terkesan menutup dialog.
Semua mereaksi kondisi ini. Hampir semua menyayangkan. Mulai dari sekedar prihatin, bahkan mengumpat, melontarkan keinginan sampai yang menggagas sesuatu yang lebih konstruktif. Umpatan atau mungkin sebenarnya ratapan yang pernah sering dilontarkan adalah memplesetkan Mayapada menjadi "MAYATPADA". Setiap ada kesempatan bertamu atau sekedar bertelpon diantara sesasma anggota, selalu muncul keinginan untuk berbuat sesuatu. Rasanya semuanya ingin mencari solusi. Tetapi jebakan utama yang paling sering menghentikan langkah adalah tetap membiarkan rencana tetap tinggal menjadi rencana. Bahkan reaksi bukan hanya datang dari kalangan internal Perhimpunan. Pupung, seorang simpatisan, memprakarsai dan menjadi "sponsor" family gathering dan tea walk Mayapada Jakarta pada 2010. Ia dibantu Rochaetin (Incu), Paryono Muljopawiro (Perek), Dafasman Gunawan (Ogelz) dll mengorganisir acara yang dilangsungkan di perkebunan teh Gunung Mas itu.
Mungkin upaya yang lebih serius untuk pertama kalinya adalah yang dilakukan Kentir. Tahun 2002 ia memprakarsai semacam reuni anggota. Bertempat di Villa Sylva Camping Ground Baturraden. Kentir menanggung sendiri hampir seluruh biaya untuk acara itu, karena seingat saya saweran yang bisa kita himpun hanya bisa sedikit untuk menutup ongkos. Saya tidak ingat berapa persisnya yang hadir. Tetapi cukup banyak. Barangkali lebih dari 25 orang. Pertemuan itu sendiri lebih menjadi ajang memuasi kerinduan sesama saudara dan mencoba menyampaikan pesan moral kepada pengurus de-jure masih ada untuk kembali menjalankan fungsinya. Sebagai Pemrakarsa Kentir sukses. Tetapi himbauan moral itu ternyata tidak ditanggapi pengurus, termasuk pemegang mandat ketua umum tentu saja.
Mengisi kekosongan akibat himbauan moral yang tidak ditanggapi, beberapa anggota tetap menghidupi semangat Mayapada dengan acara masing-masing. Ada yang mendaki ke gunung Gede dan gunung Slamet untuk merayakan HUT Perhimpunan ke 29 dan ke 32, mendaki gunung Semeru, berarung jeram di Progo dan Serayu dan banyak lagi. Kembali pada November 2006 tanggal 17 'ndoet mengkonstruksi sebuah milis Yahoo Group dengan nama grup Mayapadawatiwan. Memang inisiatif ini lebih untuk membuka ruang komunikasi diantara kita yang selama ini terhambat. Dalam terminologi khas Banyumas sebagai sebuah ruang sosial untuk gendu-gendu rasa. Tetapi kalau kemudian muncul buah untuk memang mendorong prakarsa lebih jauh bagi berkibarnya kembali Mayapada adalah pencapaian yang memang diharapkan. Banyak diskusi yang dilakukan milis ini. Mulai dari topik fotografi sampai wacana untuk membuka kemungkinan RUA online. Dokumen yang dipublish juga beragam, termasuk yang cukup signifikan adalah gerakan Ngumpulna Balung Pisah. Tercatat sejumlah 51 member bergabung, meskipun beberapa merupakan spam. Jumlah yang lumayan untuk situasi dimana kegairahan bersosial media belum sekuat sekarang. Sayangnya sang inisiator tidak mampu mengorganisir lebih jauh lagi dan gagal me-recharge energinya sehingga ruang sosial Mayapada pertama kali di ranah maya itu kurang perform lagi akhirnya, sehingga tidak lagi mampu membuka jalan lebih lebar bagai terjaganya kembali Mayapada dari tidur panjangnya kala itu.
Lalu, sepertinya Penguasa Semesta Alam ikut campur tangan dengan memilihkan momentum yang tepat. Atmo "bercerai" dengan Pfizer, mengcompany tempatnya "merumput"sejak ia lulus lebih 18 tahun lalu. Atmo bersedia membagi energi dan konsentrasi lebih banyak untuk upaya ini. Pada Oktober 2013 ia camping bersama teman-teman Mayapada Purwokerto di Kalipagu, mencoba memetakan persoalan. Dan sebulan kemudian dalam satu kesempatan camping di Cibubur yang diorganisir Mayapada Jakarta, Atmo didaulat memimpin gerakan "arus bawah" untuk membangun kembali Mayapada. Atmo menggandeng Netty Monoarfa untuk membantunya melakukan "fund rising" dengan cepat. Duo Atmo-Netty menjadi gairah baru Mayapada. Berkat kecanggihan di bidang ICT, dan terutama kapasitas mereka berdua, sosialisasi rencana Temu Akbar Mayapada 2013 bergaung amat cepat dan berangsur-angsur menjadi gagasan yang masuk akal. Dibuat grup Mayapada di media sosial Facebook, BBM, dan What'sApp untuk semakin menggemakan gagasan dan........
Atmo mem-breakdown gagasan yang cukup absurd itu menjadi detail-detail rencana aksi yang cukup operasional, dan tetap mengedepankan konstitusi sebagai acuan gerak dengan memeberikan tongkat komando pada pemegang mandat. Tetapi karena yang bersangkutan mungkin sudah patah arang, ia tidak juga mengapresiasi kehormatan itu dan menunjukkan tanggungjawabnya. Tetapi show must go on. Koko seperti tidak bisa menunjukan itikad baiknya. Tak sekalipun datang di setiap kegiatan. Dihubungipun juga tak bisa. Sementara Pengki menunjukkan kecendrungan yang hampir sama. Saya hubungi di dua nomor, namun tetap saja tidak bisa. Sebelumnya saya mengirimkan sms ke dua nomor tadi juga tidak ada respon. Begitu pula ketika saya BBM.
Mayapada Purwokerto menjadi tulang punggung gagasan kembalinya Mayapada. Paling tidak sekarang masih ada Sutras, Dodi, Conef, Black, Hulk, Dessy, Likin, Sara, Bubul, Amri, Ateng, Ermawan and last but not least Kenthir. Tanpa mereka di garda depan rencana sebagus apapun akan menjadi tumpul. Rencana aksi mengalami beberapa kali penyesuaian, juga semakin disempurnakan dengan masukan yang lebih jitu. Akhirnya program pertama , seminar dengan tema "Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Slamet sebagai Sumber Air" diselenggarakan pada tanggal 25 April 2013 di Kemangi Cafe & Resto Purwokerto. Moderatornya tentu saja ahli air Mayapada yang menjadi konsultan World Bank: Bambang Pujiatmoko (Bembeng). Kegiatan dalam rangka menyambut Hari Bumi ini sekaligus sebagai test case mengukur respon publik. Seminar dengan ketua panitia Sutras ini menangguk sukses, dan mendapat respon yang luar biasa. Pesertanya 67 orang, dua kali lipat lebih banyak dari yang ditargetkan.
Alam raya seakan menguatkan momentum ini, sepertinya seluruh simpul Perhimpunan tergerak secara serentak. Yang lama tak terlihat sekarang muncul. Segera kemudian program kedua dipersiapkan dengan dukungan yang makin penuh. GDM kemudian dilaksanakan pada tanggal 14-15 Juni 2013, dengan komandan Dodi. Di luar dugaan kita semua, peserta yang berhasil lulus dan dilantik sebanyak 30 orang. Suatu jumlah yang jauh diatas ekspetasi.
RUA dilaksanakan tanggal 24/25 Agustus 2013, mundur seminggu dari rencana semula. RUA ini menghasilkan beberapa keputusan, satu yang amat penting adalah memilih pengurus inti periode 2013 - 2015. Ini menjadi pencapaian yang amat bermakna bagi semua. Menjadi keberhasilan kita semua menggapai momentum berakhirnya periode hibernasi. Konstitusi Mayapada menunjukkan RUA adalah sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi. RUA biasanya dilaksanakan oleh pengurus tetapi karena pengurus tidak bisa melaksanakannya, anggota bisa menyelenggarakan RUA asal didukung minimal seperlima jumlah anggota. RUA semacam ini disebut RUA istimewa, karena diselenggarakan untuk mengatur keperluan yang bersifat istimewa. RUA terakhir kemarin itu dikategorikan sebagai RUA istimewa karena tidak hanya didukung oleh lebih seperlima anggota, tetapi hampir seluruh anggota, dengan agenda menyelamatkan Perhimpunan dari kecendrungan tidur untuk selamanya. Congratulations for Conef Saferianus sang ketua panitia, dan untuk kita semua karena berhasil menyelenggarakan RUA lagi sejak RUA terakhir 1995. #VivaMayapada
.......TO BE CONTINUED ON PART II..….