Minggu, 09 November 2014

PESONA DATARAN TINGGI DIENG

    Indonesia tak pernah kehabisan obyek wisata yang selalu memberikan pesona berbagai keindahan, baik alamnya maupun kebudayaannya. Salah satu dari berbagai obyek wisata yang patut dikunjungi yakni, Dataran Tinggi Dieng. Dieng merupakan desa tertinggi Pulau Jawa. Letaknya tepat di sebelah barat gunung Sindoro dan gunung Sumbing. Beberapa obyek wisata menarik bisa anda jumpai di Negeri Para Dewa ini, berikut beberapa diantaranya:

  • Candi Arjuna dan Museum Kaliasa -  Kedamaian dan Kemagisan Istana Siwa Berkepala Tiga




  • Telaga Warna - Serupa Namun Tak Sama





  •   Kawah Sikidang - Kawah Vulkanik Yang Selalu Berbisik



  •  Bukit Sikunir -  Keindahan Panorama Semesta dan Bola Cahaya Yang Sempurna





5. Dieng Plateu -  Sejarah, Legenda dan Asal Usul Menjadi Satu




  • Gunung Prau - Pesona Ketinggian Negeri Para Dewa







  Beberapa obyek wisata diatas hanya sebagiannya saja. Masih banyak obyek wisata menarik lainnya yang berada di kawasan komplek wisata Dieng. Anda juga bisa menyaksikan secara langsung ritual pemotongan rambut anak gimbal. Namun, ritual ini hanya dilaksanakan satu tahun sekali dalam acara Dieng Culture Festival. Dalam acara tersebut tidak hanya ada ritual pemotongan rambut anak gimbal saja, biasanya banyak acara lainnya seperti penerbangan 1000 lampion, Festival Jazz atas awan, dan lain sebagainya. 
    Jika anda berkunjung kesini, tidak puas rasanya bila belum mencicipi kuliner khas negeri para dewa tersebut. Ada mie Ongklok, Manisan Carica, Tempe Kemul dan lain sebagainya. Bagaimana ? apakah anda tertarik untuk mengunjungi lokawisata Dieng ? #100%Indonesia

Kamis, 06 November 2014

EKSPEDISI 4S

  Ini adalah pengalaman perihal ekspedisiku selama menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jawa Tengah, bertemu dengan teman-teman pendaki, sampai membuat tim AMPELA (Anak Mami Pecinta Alam).
   Awalnya, sama sekali tak terpikirkan olehku  untuk melirik olahraga alam bebas yang satu ini. Semenjak duduk di sekolah menengah atas,  aku sering sekali diajak teman untuk pergi mendaki gunung Pangrango yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolahku, SMA Negeri 7 Bogor. Tapi apa mau dikata, perasaan untuk menikmati keindahan alam melalui pendakian belum begitu membuatku tertarik. Namun sekarang semuanya telah berubah, mendaki telah menjadi hobi yang paling menyenangkan bagiku, itu semua bermula dari pendakian perdanaku di salah satu gunung Jawa Tengah.

1. SLAMET 3428 MDPL, JAWA TENGAH

       
 Semuanya bermula dari ketidaktahuanku. Jum’at , 29 Maret 2013 tepat pukul 14.00 WIB setelah solat Jum’at. Aku bersama Mas Chandra (orang yang mengajakku untuk camping di kaki gunung Slamet), segera memulai perjalanan bersama anak dan istrinya beserta rekan beliau, Mas Budi. Bermodalkan tas carrier pinjaman teman, tanpa basi basi aku langsung menaiki bagian belakang pick up yang dikendarai  oleh mas Chandra sendiri. Gerimis pun turun, aku bergegas mengambil mantel batman (jas hujan) yang berada di dalam tas carrier, aku dan mas Budi pun berteduh dibalik mantel batman.  Baru sekitar 50 menit perjalanan, ban mobil bagian belakang terperosok di jembatan kayu di tengah hutan lebat kawasan Palawi, Baturraden.  Kami pun terus berusaha mengungkit ban mobil menggunakan kayu dan batu. Tak lama kemudian dari arah yang berlawanan, terlihat dua mobil melintas, sesegera mungkin kami meminta pertolongan. Setelah kurang lebih 45 menit, kami pun dapat kembali melanjutkan perjalanan menuju basecamp gunung Slamet. Tepat pukul 16.00 WIB kami tiba di basecamp pendakian gunung Slamet, Bambangan, Purbalingga, Jawa Tengah. Sambil melihat pemandangan di sekitar, aku dan yang lainnya menyantap nasi bungkus dan gorengan hangat, sesedikit pula aku meminum kopi hitam hangat.
    Setelah istirahat dirasa cukup, kami pun melanjutkan perjalanan menuju spot pendirian tenda. Dua jam sudah kami berjalan melewati perkebunan sayur milik warga dan hutan pinus, hampir menuju batas hutan belantara. “ kok udah dua jam jalan tapi ga sampe-sampe juga ya ? katanya mau camping di kaki gunungnya aja, apa jangan-jangan kita nyasar ?“, gerutuku dalam hati.  Malam semakin gelap, namun Lintang, anak perempuan mas Chandra yg masih duduk di bangku sekolah dasar itu masih terlihat begitu semangat untuk melanjutkan pendakian. Melihat gigihnya semangat Lintang, aku pun juga tak mau kalah. Kuminum seteguk air dan angkat kembali tas carrier ke pundak.
  Diujung malam, akhirnya kami menemukan lahan kosong yang pas untuk mendirikan tenda kapasitas empat orang itu. Setelah tenda berwarna oranye berdiri kokoh diketinggian ±2000 meter diatas permukaan laut, dengan cekatan istri mas Chandra memasak untuk bekal makanan kami sebelum tidur. Sementara itu, kami merapihkan dan mempersiapkan peralatan tidur seperti Sleeping bag, Matras, dan lain sebagainya.
   Dingin di malam itu, terasa menusuk-nusuk tulang, aku pun keluar tenda untuk sekedar menghangatkan diri ditemani secangkir kimcil, kopi item gelas kecil. Terdengar suara Lintang merengek di dalam tenda, wajar Lintang memang terbilang masih sangat muda. Umurnya baru sekitar 6 tahun. Hujan mulai membasahi atap-atap tenda dan memaksaku untuk kembali masuk kedalam.
    Suasana seketika sunyi senyap sesaat setelah lagu Iwan Fals yang terdengar dari ponsel mas Chandra itu mati. "Ted, kemungkinan kita ga bisa melanjutkan pendakian nih, soalnya Lintang pengen pulang ditambah kondisi cuaca yang ga memungkinkan", jelas mas Chandra. "Hmmm, tapi mas...aku belum pernah satu kali pun melihat samudera awan, aku pengen banget lihat mas" rajukku. Setelah melakukan percakapan yang cukup alot akhirnya aku diizinkan untuk berangkat seorang diri, sebenarnya mas Chandra memang tidak mengizinkan karena aku belum punya pengalaman dibidang survival terlebih lagi kondisi cuaca saat itu memang tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian. Namun, melihat gigihnya semangat dan ambisiku untuk melihat puncak, akhirnya aku diizinkan.
   Pukul menunjukan 03.15 WIB, tepat sesaat hujan reda, aku mempersiapkan keperluan pribadi untuk melanjutkan perjalanan. Bermodalkan bekal secukupnya, senter dan jas hujan, aku memulai perjalanan seorang diri. Diantara kabut malam dan dingin yang menusuk tulang, terselip sedikit rasa takut. Meskipun demikian, tak sedikit pun menghalagi semangatku untuk menuju puncak. Aku hanya mengikuti jalur yang ada, ketika dihadapi persimpangan jalur, aku hanya mengikuti bekas jejak kaki pendaki lainnya. Suatu ketika, lampu senter yg menjadi satu-satunya penerangan yang kupunya mulai meredup, aku pun berlari secepat kilat sambil menyinari jalan yang berada dihadapanku dengan penerangan seadanya.
   Sinar mentari yang telah bangun dari tidurnya, mulai sedikit membantuku. Sesampai dibatas vegetasi menuju puncak, aku bertemu dengan pendaki lainnya. Lalu aku bergabung bersama mereka dan mengobrol banyak hal, mereka adalah mahasiswa jurusan sastra yang berasal dari Magelang. Bebatuan berpasir di batas vegetasi menuju puncak sungguh menyulitkan langkahku, ambisiku semakin membara ketika melihat puncak telah berada di depan mata. Dan sesampainya di puncak, mataku benar-benar terbelalak takjub melihat indahnya pesona ketinggian gunung Slamet. Terlihat jelas samudera awan berbalut tinta jingga terkena seberkas cahaya mentari terbit. "Wooy sini mas, kita ngopi-ngopi cantik!!", teriak mas Adi Kristianto, salah satu dari rombongan pendaki asal kota Magelang. "Okeeey siap mas", balasku sambil mengeluarkan makanan ringan dari dalam tas. Walaupun sudah mencapai puncak tetap terselip penyesalan, ya aku baru sadar ternyata kamera telah tertinggal di dalam tenda. "Ayo rek kita foto-foto bareng", ajak mas Hendra. Aku pun mendokumentasikan banyak gayaku ke dalam kamera digital milik mereka. "mas nanti fotonya tolong kirimin via fb atau ga twitter ya, soalnya kamera aku ketinggalan", ucapku sambil nyengir. "Oke siap tenang aja mas", jawab mereka serempak.
   Sekitar pukul 09.00, panas terik matahari langsung membuat kulitku merah seperti udang rebus. Kami pun memutuskan untuk turun. Lambat laun, karena letak pendirian tenda yang berbeda, aku dan mereka mulai berpisah. Sesampai dibawah aku kembali bertemu dengan mas Chandra, istri dan anaknya beserta rekannya, mas Budi. Setelah membersihkan diri didekat mata air, kami kembali menyantap nasi bungkus, lalu melanjutkan perjalanan untuk pulang. Hari itu sungguh membuat persaanku campur aduk tak karuan, disatu sisi aku merasa bangga, namun disisi yang lainnya aku merasa bersalah. Sesampainya di kosan, aku lansung membalas rasa lelahku dengan tidur di kasur tercinta.
   Banyak pelajaran yang aku dapatkan dari perjalanan kali ini. Dalam setiap kejadian pasti banyak hal yang tidak pantas untuk ditiru namun masih pantas untuk dikenang, hal yang tidak pantas untuk ditiru dari perjalananku kali ini adalah kerja sama tim. Aku sadar, aku begitu egois mendaki menuju puncak seorang diri tanpa memikirkan hal yang akan terjadi selanjutnya. Semoga kisah pendakian perdanaku ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua, bahwa puncak bukanlah segalanya, tapi kerja sama timlah yang utama.
    Beberapa bulan setelah pendakian ini, aku kembali mendaki gunung tertinggi di Jawa Tengah ini, dalam rangka pembersihan sampah di sekitar jalur pendakian dan sekedar fun camping bersama teman lainnya, namun dari beberapa kali mendaki gunung Slamet, aku hanya berhasil menggapai dua kali puncak. Puncak kedua ditemani Eko, teman kosan yang juga termotivasi karena kisahku.


2. SINDORO  3153 MDPL, JAWA TENGAH


   Sindoro, ini merupakan pendakian kedua diekspedisiku yang pertama. Semua terjadi spontan begitu saja tanpa ada perencanaan jauh-jauh hari. Sambil menyodok bola di salah satu tempat billiard & cafĂ© terkemuka di Purwokerto, Awang, sahabatku di kampus sepontan berkata, “Ted, minggu depan kita nanjak bareng yuk, aku udah lama ga naik koh”. Karena olahraga alam bebas yang satu ini telah menjadi salah satu hobiku, tanpa pikir panjang langsung saja ku balas, “Ayo siap cuk, kita ke Sindoro aja bro”. “Sip broooh”, jawabnya sambil mengacungkan jempol kanannya, tanpa sadar kalau bola putih yg disodoknya ikut masuk kedalam lubang di sudut kanan meja billiard.
   Keesokan harinya, aku, Awang, dan Andry, pergi berkeliling menyusuri malam di sekitar Purwokerto. Andry adalah teman sekelasku di jurusan Akuntansi. Selain bersama Awang, bersama Andrylah aku biasa menghabiskan waktu nongkrong di malam hari. Setelah berkeliling mencari tempat nongkrong, berhentilah kami di salah satu angkringan yang letaknya berada persis di utara Pasar Wage. Sambil menyantap mendoan, makanan khas Purwokerto, aku dan Awang kembali memulai percakapan untuk membahas pendakian selanjutnya tak lupa pula kami mengajak Andry untuk ikut bergabung. Namun, karena belum mendapatkan izin dari orang tua, Andry hanya bisa menggelengkan kepalanya.“Gua belum dapet izin cuk, nanti ajalah kalo udah dizinin” ucap Andry sembari tertawa kecil. “Yaaaah”, ucapku bersama Awang serempak. “Mas kopi hitam satu ya”, teriakku kearah pedagang angkringan malam itu.
   Malam selanjutnya, tak ada kegiatan lagi setelah menyelesaikan tugas kuliah Perpajakan 2. Sambil melihat-lihat recent updated di blackberry messanger, aku melihat update-an display picture terbaru dari Andaru Pradityo. Di foto, terlihat dia mengenakan baju yang bertuliskan “Slamet Mountain”. Dengan respon yang cepat, langsung saja jariku mengetik papan keyboard mini itu,”Ceng lu suka naik gunung juga ya ? Sabtu kita ke Sindoro yuk”. Beberapa menit kemudian Darceng membalas dengan kalimat yang memang aku harapkan,”Wah kebetulan banget gua lagi free ted, ayolah gass jadiin lah bro”. Andaru Pradityo adalah seniorku di fakultas Ekonomi, karena sama-sama berasal dari Bogor, aku cukup dekat dengan dia. Dia biasa dipanggil dengan panggilan Darceng.
   Hari-hari berlalu begitu cepat, sehari sebelum memulai perjalanan, Yusi, teman sekelasku menyarankanku untuk mengajak Wino. Karena Yusi adalah teman yang aku percaya, aku pun memutuskan mengajak Wino untuk ikut bergabung. Wino adalah mahasiswa fakultas Ekonomi yang berasal dari Padang, Sumater Barat.
    Hari yang ditunggu itu pun tiba, setelah mempersiapkan berbagai peralatan pribadi dan kelompok serta logistik, kami pun memulai perjalanan menggunakan sepeda motor menuju Wonosobo. Pagi itu, kami berhenti sejenak di rumah Awang di daerah Purbalingga untuk mem-packing ulang perlengkapan kami. Sekitar pukul 13.00 setelah dzuhur, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Wonosobo.
   Tepat pukul empat sore lebih lima belas menit, kami tiba di kawasan Perkebunan Teh Tambi, Dieng Wonosobo. Setelah bertanya-tanya kepada penduduk sekitar perkenbunan, kami pun dipersilahkan untuk menitipkan motor di rumah ketua RT setempat. Sambil menikmati waktu istirahat, aku datang menghampiri petani yang sedang mengangkut hasil panen sayur mayur ke mobil bak. “Mas aku beli sayurannya campur boleh ?”, tanyaku kepada petani itu. “Wah boleh-boleh mas, mau beli berapa ?”, Tanya petani itu. “Sepuluh ribu aja deh mas, aku mau kentang, wortel, seledri, kol sama kacang buncis”, ucapku. Aku pun kembali  sambil membawa satu plastik sayur mayur. Sambil menikmati teh hangat yang telah disuguhkan bu Wardani, istri ketua RT setempat, kami pun mengeluarkan pisau lipat untuk memotong-motong sayuran yang telah kubeli barusan. 
  Setelah waktu magrib, kami memulai pendakian. Kuangkat tas carrier dan kupasang headlamp di kepala. Kami pun menyiapkan posisi, Awang berjalan dibagian depan sebagai leader, disusul Darceng, Wino, dan terakhir aku sendiri sebagai Sweeper. Setelah berjam-jam melewati perkebunan teh, akhirnya kami menemukan hutan mati gunung Sindoro. Aku pun mulai merasa risih dengan kehadiran Wino yang teriak-teriak ketakutan sambil berlari kesana kemari merusak posisi tim. “Ted plis bangeet gue takut, dibelakang lo ada pocong aaaah”, teriaknya. Saking takutnya, Wino pun berlari kedepan mendahului Awang, lalu kembali lagi bersembunyi dibelakang Awang. “Wang itu di depan ada cewek, gua takut iihhh”, teriaknya lagi. Tanganku sudah terkepal kuat ingin memukul Wino karena tidak bisa menjaga sikap selama di gunung, untung saja aku masih bisa mengontrol emosiku sendiri. “Tenang win, santai aja, dia ga bakalan ganggu lu kok”, ujar Awang. “Iya Win tenang aja sih, tetap jaga sikap”, sambut Darceng dengan nada yang cukup tinggi.                                                                  
  Setelah Selang beberapa saat, kami pun berhenti sejenak di bawah pohon yang cukup rindang. Kami memulai mengeluarkan kompor lipat, gas dan nesting, dan memulai memasak air untuk sekedar membuat susu hangat. Sambil menikmati roti tawar dan susu hangat, kami memandang ke arah dataran tinggi Dieng, terlihat jelas warna-warni lampu menghiasi desa tertinggi di pulau Jawa itu. “Ya Allah, begitu indah ciptaanMU”, ucapku takjub.  
   Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya kami menemukan spot yang pas untuk mendirikan tenda di sekitar hutan mati. Setelah selesai mendirikan tenda kamipun istirahat, kami sengaja tidak memansang cover dan flysheet agar kami bisa melihat bintang yang bertaburan di langit malam itu, kebetulan saat itu cuaca cerah. Namun lagi-lagi Wino membuatku risih. Dia selalu berbicara apa yang dia lihat tentang hal-hal aneh. 
   Sebelum melanjutkan perjalanan, kami memasak sop, sosis dan nugget goreng agar fisik kami tetap kuat melanjutkan pendakian sampai puncak. "Ted gua jaga tenda aja dah gua ngantuk", ucap Darceng "Laaah priwe ceng ?", ucap Awang. "Udeh kagak ngapa, berangkat buru udah siang nih", balasnya lagi. Kamipun memulai perjalanan hanya bertiga, karena estimasi perjalanan dari hutan mati menuju puncak tidak tepat ditambah sebelumnya kami bangun kesiangan, kami terpaksa harus merelakan sunrise. Saat itu kami sampai sekitar pukul 07.30 pagi di puncak gunung Sindoro. "Duh Ted panas banget, gua turun duluan ya ?", ujar Wino kepadaku."Jangan Win bahaya! Ini gunung bukan gang sadar!", jawabku spontan. Namun Wino tetap nekat, benar saja, petakapun terjadi aku dan Awang kehilangan jejak Wino. "Lah, itu syal Wino wang", ucapku sambil menunjuk kearah syal yang tergantung diantara pepohonan edelweiss. Aku dan Awang terpaksa turun melalui jalur yang berbeda, hampir satu jam mencari akhirnya aku dan Awang menemukan dia di bawah pohon dengan muka yang pucat akibat kelelahan. Sesegera mungkin kuberi dia minum dan roti untuk sekadar memulihkan energinya. Setelah istirahat beberapa saat, kami kembali naik ke atas dan memutar karena jalur yang kita lalui salah. hampir satu jam setelah itu akhirnya kami sampai di tenda.
   "Woi Ted, Wang, Win", teriak Darceng dari atas. "Lu muncak ceng ?", teriakku. "Yoi meen", jawabnya sambil tertawa. Lalu aku memasak untuk makan siang sementara itu Awang dan Darceng membongkar tenda. "Ted minta airnya ya buat cuci muka, takut muka gua tumbuh jerawat",  ucap Wino sambil tertawa kecil. 
    Kami tiba kembali di kaki gunung Sindoro sekitar pukul 18.00. Setelah istirahat membersihkan diri, kami kembali menikmati teh hangat buatan bu Wardani. "Win lain kali jangan kayak gitu lagi ya, bahaya turun sendirian, jalur yang lu lewatin tadi tuh jalur air, coba kalo hujan ?", ucapku kepada Wino. "Iya Ted maaf", ucapnya sambil menunduk. Pukul 20.00 kami pamit pulang kepada ibu dan bapak RT setempat, tak lupa kami ucapkan terima kasih banyak atas kebaikan mereka. 
     Pendakian kali ini memang menyajikan banyak hal yang layak untuk diceritakan, begitu banyak hal yang pantas untuk dikenang meskipun tak pantas untuk ditiru. Pelajaran dari pendakian kali ini, kerja sama tim memang sangat dibutuhkan. Sebenarnya Wino adalah orang yang sangat baik, aku masih memaklumi Wino, karena ini memang pendakiannya yang pertama kali. Beberapa bulan setelah pendakian ini, Wino pindah dan melanjutkan studi di negeri Cina. 

3. SUMBING  3371 MDPL, JAWA TENGAH

Burjo, tempat biasa aku dan Awang nongkrong sambil mengisi perut yang kosong. "Wang, hari senin minggu depan kan ada libur tuh. Gimana kalo kita nanjak  ? berangkat Jum'at sore", ajakku. "Oke, nanti pikir-pikir dulu ya", jawabnya sambil menghisap rokok.
TO BE CONTINUED













4. SEMERU 3676 MDPL, JAWA TIMUR

 Perjalanan menuju Jawa Timur memang membutuhkan persiapan yang lumayan lama, hampir sekitar dua bulan. Awalnya aku hanya berangkat bertiga bersama teman di organisasi luar kampus namun, kesibukanlah yang memaksa kami untuk  membatalkan rencana menuju kesana. Dua minggu sebelum ujian tengah semester aku kembali membuat plan menuju kesana dengan tim lain. Dan ternyata banyak respon positif dari tim Ampela, mereka juga mempunyai hasrat untuk melakukan pendakian di gunung tertinggi di pulau Jawa itu. Ampela adalah kependekan dari "Anak Mami Pecinta Alam". Ampela sendiri terdiri dari mahasiswa Akuntansi B Unsoed angkatan 2012 yang mempunyai hobi backpacker/traveling tapi tetap mencintai maminya (hehe). Awalnya kami berangkat bertujuh, namun karena Awang dan Aldi ada kegiatan yang sama pentingnya, Akhirnya kami berangkat hanya berlima, yakni Adit, Ipang, Fahmi, Billy dan aku sendiri. 
   Setelah melakukan berbagai persiapan peralatan, logistik, fisik dan lain sebagainya, tepat pada tanggal 1 November 2014 sehari setelah ujian tengah semester para Ampela berangkat menuju Malang. Pukul 05.30 WIB kami berangkat dari stasiun Purwokerto menuju Surabaya menggunakan kereta, di Surabaya kami hanya sekedar transit sebelum melanjutkan perjalanan menuju Malang. Karena ada keterlambatan kereta, kami sampai di stasiun Gubeng Surabaya sekitar pukul 04.15 dua jam lebih lama dari jadwal yang sudah ditentukan. Kamipun melanjutkan perjalanan, tepat pukul 21.30 WIB aku dan teman-teman sampai di Kota Apel tersebut. Sesampai disana kami langsung melakukan negosiasi untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju terminal Arjosari, namun kami tidak menemukan kesepakatan harga dengan supir angkutan umum tersebut, lalu kami berkeliling dan bertanya-tanya kepada warga sekitar perihal tempat peristirahatan terdekat dan aman. Lagi-lagi kami tidak menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan kami, kami memutuskan untuk beristirahat di taman Trunojoyo yang letaknya tidak terlalu jauh dari stasiun Kota Malang Baru. Baru sekedar duduk dan meluruskan kaki datang salah seorang penjaga taman, "Maaf mas kalo mau tidur di taman sebelah saja, pagarnya mau saya kunci", ucap salah seorang penjaga taman tersebut. Lalu kami pindah ke taman yang letaknya juga tidak terlalu jauh dari taman Trunojoyo. "Ted kita makan yuk ah laper nih", ajak Adit, tanpa banyak bicara aku langsung mengeluarkan nesting dan kompor lipat untuk memasak kentang goreng. Sambil menunggu kentang matang, tiba-tiba datang segerombolan anak kecil "Mas, itu apa ?", ucap salah seorang anak "Mas aku mau ya", sahut yang lainnya. "Iya aku juga mau, aku juga mau", ucap mereka. "Oke, sabar ya, bentar lagi mateng kok", ucapku dengan nada pasrah. Setelah menyantap makanan ala akadarnya, kami istirahat secara bergantian agar tetap ada yang menjaga tas carrier. 
   Jarum jam menunjukkan pukul 04.00, kami kembali melakukan negosiasi dengan supir angkutan umum lainnya. Setelah beberapa waktu melakukan negosiasi, akhirnya kami menemukan kesepakatan. Perjalanan menuju Pasar Tumpang kurang lebih sekitar 45 menit. Sesampainya disana kami istirahat dan solat di Masjid yang jaraknya tidak terlalu dari Pasar Tumpang, sekitar 200 meter. "Temenin gua ke pasar dong men buat beli logistik yg kurang", ajakku kepada para Ampela. "Ayo Ted, sama gua aja", ucap Fahmi. "Gua ngikutlah", sambut Ipang. Disaat yang bersamaan, Adit pergi membersihkan diri di kamar mandi umum terdekat, sementara Billy menjaga barang-barang kami. Setelah berkeliling mencari pembekalan untuk di gunung, akhirnya kami kembali ke rombongan dengan membawa satu plastik berisi telur, sayur-mayur, tahu, tempe dan lain sebagainya. "Bro mendingan kita nunggu jeepnya diatas aja", ajak Billy sambil menunjuk ke arah banner yang bertuliskan "Basecamp Bromo Tengger Semeru". "Ayolah gas", ucap Ipang. Setelah memasukan semua perbekalan, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Sesampainya disana, sambil menunggu jeep datang, kami membersihkan diri dan Adit menjaga barang. 
   Pukul 08.30, kami berangkat menggunakan mobil jeep bersama empat orang rombongan asal Kalimantan dan dua orang berasal dari Semarang. Namun, ketika waktu menunjukkan pukul 09.15 setelah memasuki kawasan Bromo Tengger Semeru mobil kami mogok, dan terpaksa kami harus menunggu sekitar setengah jam lebih. Sambil menunggu mobil pengganti, kami mengobrol dengan para pendaki lainnya di tepi jalan raya. Pukul 09.50, kamikembali melanjutkan perjalanan dengan mobil yang berbeda. 
   Pukul 11.00 kami tiba di basecamp Ranupani, tempat dimana pendaki gunung Semeru berkumpul sebelum melanjutkan perjalanan. Sambil membongkar ulang peralatan dan logistik, kami mengurus identitas diri dan surat-surat lainnya. Sementara itu, rombongan asal Kalimantan telah melakukan pendakian terlebih dahulu. Pukul 13.30, setelah mem-packing ulang semua peralatan dan logistik dan setelah istirahat dirasa cukup, kami melakukan doa bersama dan memulai pendakian. Setelah beberapa jam mendaki, aku dan yang lainnya dikagetkan dengan kobaran api di sekitar Landengan Dowo dan Watu Rejeng. Namun, kami masih bisa melewatinya, lalu kami kembali mengatur posisi. Seperti biasa, orang yang paling depan sebagai leader dan yang paling belakang sebagai sweeper. Ketika leader ataupun sweeper lelah, yang lain bertukar secara bergantian.
    Sore hari menjelang maghrib, kami tiba di surganya gunung Semeru, ya! Ranu Kumbolo. Cuaca hari itu memang sangat tidak bersahabat, baru saja ingin memulai mendirikan tenda, tali frame tenda kami putus diterjang badai pasir. Setelah memutar otak akhirnya aku kami bisa menyambung frame kembali dan tenda bisa berdiri. Tak lama kemudian, badai kembali datang, aku dan Adit sampai kewalahan memasang flysheet, meski akhirnya aku dan Adit berhasil memasangnya dengan menggunakan tracking pole. Karena cuaca tidak memungkinkan, kami hanya memasak kentang goreng dan membuat agar-agar yang kami masukkan kedalam botol kosong, lalu kami melanjutkan istirahat.
    Pagipun tiba, sambil meminum teh hangat yang sudah kami buat sebelumnya, kami memulai memasak sop sayur-sosis- tahu, nasi, tempe goreng. Sambil memasak, datang seorang lelaki menghampiriku. Ya dia adalah Bintang, Bintang adalah teman Awang yang juga berasal dari Purbalingga, sekarang dia bekerja di salah satu penerbangan di Tanggerang. Setelah menyantap sarapan bersama-sama. Aku dan Ampela berfoto-foto ria di Ranu Kumbolo, sementara itu Bintang dan rombongannya kembali melanjutkan pendakian menuju Kalimati.
      Setelah puas berfoto-foto, kami membongkar tenda dan kembali mem-packing barang. Lalu kami berdoa sebelum melanjutkan pendakian. Pendakianpun dimulai, tak lupa aku membawa sebotol agar-agar yang telah kami buat semalam dan telah kami rendam di air Ranu Kumbolo. Setelah melewatkan "tanjakan cinta" kami beristirahat sejenak sambil menikmati agar-agar. Setelah istirahat dirasa cukup kami kembali melakukan pendakian, namun kami dikecewakan dengan melihat oro-oro ombo yang kering kerontang tak berwarna dan sebagian lagi telah terbakar. Namun hal itu tidak memudarkan semangat kami untuk menggapai puncak Mahameru. Kekecewaan kami semakin memuncak ketika kami bertemu kembali dengan rombongan asal Kalimantan yang sedang turun di dekat Cemoro Kandang. "Hati-hati ya bro, diatas lagi ada kebakaran besar dan badai pasir", ucap salah seorang dari rombongan tersebut. Lalu kami juga mendengar kabar dari pendaki lainnya bahwa diatas ada salah seorang pendaki yang tewas tertimpa batu di batas vegetasi menuju puncak. Ya, badailah yang mengakibatkan batu-batu jatuh dan berhamburan. Setelah berjalan beberapa saat sesudah melewati Cemoro Kandang, kami memutuskan untuk istirahat sambil memasak minuman berenergi. "Bang, mending kagak usah naek dah. Apinya gede banget, ane aja ama rombongan sampe sesak napas", ucap pendaki yang baru turun dari atas. "Yaaah, yaudah dah sini bang istirahat dulu, minum-minum dululah", ajakku dengan perasaan yang campur aduk.
    Melihat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan pendakian, akhirnya kami memutuskan untuk turun. Hawa panas siang itu sangat terasa, asap dari kebakaran hutanpun terlihat mendekati kami. Sebenarnya kami bisa menginap semalam lagi di Ranu Kumbolo sambil berharap turunnya hujan, namun logistik kami hanya cukup untuk bertahan selama tiga hari.
    Setelah maghrib, kami tiba di Ranupane. Karena jeep di malam itu sudah tidak ada, kami memutuskan untuk mendirikan tenda dan menginap semalam. Pukul 11.00, aku dan para Ampela lainnya memulai perjalanan menuju Pasar Tumpang menggunakan jeep, diperjalanan menuju jeep, kami melihat para rangers dan tim SAR yang berhasil mengevakuasi dan membawa korban dari atas gunung. Duka sangat yang sangat mendalam menyelimuti pagi itu.
    Ini merupakan pendakianku yang ke sepuluh, perjalananku bersama Ampela saat itu memang penuh suka dan duka, walaupun kami tidak berhasil sampai puncak, kami tetap bersyukur masih diberi kesehatan. Berkat keterlambatan mobil jeep, aku masih bisa menceritakan kisahku di dalam blog ini. Andaikan mobil jeep tidak mengalami masalah, mungkin ceritanya akan berbeda. Puncak memang bukanlah segalanya, sampai di rumah dengan selamat adalah yang utama. Namun, di benakku masih tersimpan hasrat menuju Mahameru, puncak tertinggi pulau Jawa. Suatu saat aku pasti kembali. Terima kasih Ampela.

Rabu, 22 Oktober 2014

LAMPION DARI BARANG BEKAS

  
Lampion dari barang bekas, ide ini muncul spontan begitu saja ketika melihat banyak barang bekas yang tak terpakai di sekitar kosan. Bahan baku utama untuk membuat lampion ini sangat mudah didapat, jadi anda tidak perlu merogoh kocek yang cukup dalam untuk membuatnya. Bermodalkan bahan baku utama seperti botol bekas dan sendok plastik bekas beserta peralatan pendukung lainnya, anda sudah bisa membuat karya yang ramah lingkungan ini. Berikut adalah langkah – langkah dalam membuat lampion dari barang bekas:











  • Pertama, siapkan bahan baku dan peralatan seperti botol bekas, sendok plastik bekas, solder, lampu warna ukuran kecil, kabel, lem bakar, gunting, tali bekas, dll seperti gambar dibawah ini :


  •     Selanjutnya potong botol bekas menjadi dua bagian, potong dengan ukuran sesuai selera kalian. 





  • Lalu, potong gagang sendok plastik bekas hingga menjadi seperti gambar dibawah ini.



  •  Selanjutnya masukan lampu dan penyangganya kedalam botol, lalu ikat penyangga lampu dengan tali




  • Selanjutnya, lem potongan sendok tadi di bagian kulit luar botol plastik dengan menggunakan lem bakar.



  • Selesai, kini lampion dari barang bekas ini dapat memperindah sudut ruangan kamar anda. Selamat mencoba !

                                               
              
                                                   

Minggu, 19 Oktober 2014

ALL ABOUT MAYAPADA PART II


Ini merupakan kelanjutan dari All About Mayapada Part I. Yang akan saya bahas dalam bagian ini adalah menyorot daya hidup Mayapada yang memunculkan eksistensi selama 36 tahun, yang disarikan dari eksplorasi sepintas kehidupan beberapa dari kita yang mencerminkan prinsip dan keutamaan Mayapada sebagai organisasi pecinta alam. Memang ini pengamatan yang terbatas dan mungkin saja bias, tetapi memang tujuannya bukan untuk mengguliti pribadi per pribadi tetapi lebih untuk menemukan benang merah relevansi dan signifikansi dari nilai kearifan mencintai alam yang hidup dan diharapkan oleh setiap anggota Mayapada.

DAYA HIDUP MAYAPADA, SEMBILAN KEUTAMAN MAYAPADA

    Selama 36 tahun ideologi mencintai alam terinternalisasi dalam diri anggota Mayapada. Maka ketika secara formal organisatoris perhimpunan ini bermasalah, yaitu mengalami periode hibernasi selama hampir 16 tahun, nilai-nilai ideal yang bersumber dari kearifan alam raya itu tetap hidup di sabubari Mayapadawan/i. Mayapada "kaga ade matinye" kata orang Betawi. Saya mencoba memotretnya secara snapshot (cepat), mencermatinya, dan membandingkannya. Kesimpulannya ditemukan kecendrungan yang berpola. Tentu saja ada juga deviasi, tetapi tidak signifikan. Hasilnya: potret sembilan keutamaan Mayapada. Semacam abstraksi dari crowd-wisdom Mayapada dalam bersaksi melalui hidupnya untuk mencintai alam. Hampir tiga puluh tahun yang lalu saya mencoba menggagas dan merumuskan konsep kemayapadaan, yaitu nilai-nilai luhur Mayapada yang menjadi sikap dasar dan orientasi hidup segenap anggotanya. Hal yang persis sama saya lakukan sekarang. Bedanya, dulu referensinya terbatas. Sekarang melimpah. Dulu lebih teoritis, mengacu pada hal-hal yang kita idealkan yang lebih banyak berada di luar "rumah" kita. Tetapi sekarang bersumber dari diri kita sendiri. Dari dalam, yang bisa kita eksplorasi di halaman rumah sendiri. Bukan lagi terbius dengan "rumput tetangga yang lebih hijau" yang cenderung menipu dan tidak genuine. Potret keutamaan nilai-nilai kehidupan ini disarikan dan bersumber dari praktek hidup keseharian para anggota Mayapada sendiri. Pencerminan dari kesaksian hidup Mayapadawati/wan dalam menghayati visi mencintai alam secara konkret. Lebih mudah memang untuk memotretnya, tetapi juga tidak menjamin terbebas dari kesulitan. Mari.....

1. Keberagaman: Keutaman Pertama Mayapada

                                                         



                                              COMING SOON!! 
                     


All ABOUT MAYAPADA PART I

     Ini adalah catatan salah seorang pentolan Mayapada yang saya ketik ulang bersamaan dengan HUT Mayapada yang ke 36 pada 3 September tahun lalu, beliau adalah Agus Y. Ranu ('ndoet), salah seorang Mayapadawan asal Bogor yang bekerja sebagai Fotografer dan Dosen Fotografi Di Universitas Bina Nusantara (Binus). 


BERGURU DAYA HIDUP DARI ALAM RAYA

Refleksi Singkat 36 Tahun Keberadaan Mayapada

   Refleksi ini meskipun singkat tapi juga menghabiskan banyak halaman. Biar bisa dibaca enak secara acak, tulisan ini diorganisasi menjadi tiga bagian utama, yaitu pergumulan hidup, daya hidup yang mau dipancarkan, dan quo vadis Mayapada. Pegumulan hidup sepanjang 36 tahun mau ga mau harus dibreakdown melalui periodisasi. Juga ga mungkin menuliskan seluruh dinamika yang terjadi selama lebih dari tiga dekade, karena akan menyebabkan tulisan sejarah lengkap yang mustahil dilakukan hanya berdasarkan ingatan dari ketiadaan arsip yang bisa diacu akibat tradisi tulisan yang begitu lemah di perhimpunan. Maka sebelum memori otak kiri saya terbatas itu makin meredup, saya merekonstruksikan pencapaian terpenting di setiap periode.
   Bagian kedua menyorot daya hidup Mayapada yang memunculkan eksistensi selama 36 tahun, yang disarikan dari eksplorasi sepintas kehidupan beberapa dari kita yang mencerminkan prinsip dan keutamaan Mayapada sebagai organisasi pecinta alam. Memang ini pengamatan yang terbatas dan mungkin saja bias, tetapi memang tujuannya bukan untuk mengguliti pribadi per pribadi tetapi lebih untuk menemukan benang merah relevansi dan signifikansi dari nilai kearifan mencintai alam yang hidup dan diharapkan oleh setiap anggota Mayapada.
   Refleksi ini lebih didasari hasrat menorehkan catatan kecil untuk memaknai euforia kebangkitan kembali perhimpunan, maka nuansa emosional mungkin mengalahkan logika yang semestinya terjaga. Penggunaan terminologI yang salah, pilihan kata dan redaksionalnya yang kurang pas, bahkan penempatan perspektif yang tidak sesuai dengan karakter Perimpunan sangat mungkin terjadi. Juga tak terhindarkan ada bicara tentang diri sendiri meski sudah mencoba menghindarinya. Mohon maaf yang mendalam untuk segala kesalahan itu dan mohon kiranya berkenan memberikan masukan untuk perbaikan.

PERGUMULAN 36 TAHUN MAYAPADA

1. Periode Pembentukan, 1977-1983

  Secara sadar Mayapada tidak pernah berpretensi membangun ekslusifitas dengan anggota yang hanya mahasiswa, tetapi bagaimanapun Mayapada memang tak bisa jauh-jauh dari kampus sejak kelahirannya. Diprakarsai oleh sejumlah civitas academica Unsoed dan kalangan lain, PPA Mayapada berdiri sejak 1977. Pengurus inti pertama adalah I.J. Samojo, Pitriansyah Kosim, Hindun HS, Endang Sukendro, dan A. Bambang Wisanggeni. Sementara pada masa kepengurusan kedua dikomandani oleh ketua umum Endang Sukendro.
   Hampir setahun kemudian para founding-fathers ini mampu merumuskan AD/ART sebagai konstitusi yang memandu gerak langkah perhimpunan. Penyelenggaraan RUA untuk menetapkan AD/ART diketuai oleh Hartoko, Indramawan sebagai Sekretaris, dan Woro Irawati sebagai Notulis. RUA dilaksanakan di Jalan Ahmad Yani No. 35 Purwokerto.
   Sosialisasi AD/ART nampaknya menjadi program di periode ini karena kami menerima warisan beberapa eksemplar cetakan stensil AD/ART, yang sangat mungkin produk dari teknologi pengadaan dokumen yang amat popular dipenggal waktu itu.

2. Periode Anti NKK/BKK 1983 - 1985

   Komposisi pengurus inti adalah Agustinus Yohan Ranu ('ndoet), Widyastuti (Quenceer) dan Ani Widyastuti (Ndoel). NKK/BKK adalah akronim dari normalisasi kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan, sebuah produk kebijakan rezim Soeharto di tahun 1978 dalam mengebiri aktivitas di kampus-kampus melalui sterilisasi para aktivis dan organisasi mahasiswa kritis dan kontrol ketat atas kegiatan kemahasiswaan. Mahasiswa dipaksa hanya menekuni kegiatan akademis. Gelombang protes mendera beberapa kota basis utama gerakan mahasiswa Indonesia. Tetapi ancaman DO, pelopor senapan dan sepatu lars militer sangat ampuh membungkam protes. Protes sunyi segelintir mahasiswa Unsoed membawa permenungan panjang sembari menapaki penjelajahan gunung dan hutan di penggalan tahun 1983 – 1985 menjadi blessing in disguise bagi Mayapada. Buahnya memang memunculkan semacam pencerahan bagi Perhimpunan untuk merumuskan dan mengambil langkah-langkah paling strategis yang cocok dengan situasi kondisi kala itu.
   Langkah strategis itu memang masih berkutat pada strategi konsolidasi Mayapada kedalam sebagai organisasi muda dan terbatas sumber dayanya. By design memang memobilisasi segenap potensi yang terbatas kala itu untuk lebih berfokus pada penguatan aspek internal Perhimpunan dalam frame mengembangkan pondasi kokoh bagi gerak Perhimpunan kedepan. Satu pencapaian yang barangkali paling strategis adalah pembakuan  mekanisme rekrutmen anggota sekaligus merumuskan sistem pendidikan intern: GDM (Gladi Dasar Mayapada) dan konsep GLM (Gladi Lanjut Mayapada), dan menyelenggarakan GDM 1985. Berikutnya, menetapkan atribut baru: syal dengan warna hijau muda yang berbeda dengan warna bendera. Warna hijau muda dipilih sebagai visi dan orientasi gerak Mayapada mencintai alam, menuju bumi kita hijau. Menyusul kemudian menetapkan program tradisi GSK (Guyur Syukur Gemahan) sebagai program untuk mengungkapkan rasa syukur atas sebuah keberhasilan. Saat itu kebanyakan memang syukur atas kelulusan. Sepanjang yang bisa ditelusur tradisi ini bermula dan mengambisi inspirasi dari camping di Srandil, syukuran lulusnya mas Kendro di periode sebelumnya. Kemudian juga menggagas beberapa program jangka panjang: RTM (Rute Tradisional Mayapada) dan Rute Alternatif Slamet Jalur Selatan.
  Tetapi memasuki penghujung periode terlahirkan pula sebuah karya sebagai persembahan untuk masyarakat diluar Perhimpunan, yaitu JPA (Jambore Pecinta Alam) tingkat SLTA se Eks Karasidenan Banyumas pada Oktober 1985 sebagai bagian dari pendidikan ekstern. Saat itu mungkin untuk pertama kalinya seorang perempuan di Perhimpunan dipercaya untuk memimpin kami di kepanitiaan. Dialah Mayapadawati Ndoel.
  Hubungan baik dengan apparatus negara mulai dibangun pelan-pelan. Ada dua pejabat yang menanggapi dengan lebih simpatik, yaitu Bupati Banyumas dan Danrem Wijayakusuma waktu itu. Pak Roedjito dan Pak Sarjono. Dua bapak ini tidak sekedar memberi bantuan finansial pada beberapa kegiatan, tetapi juga kesediaan untuk duduk sebagai penasehat atau membuka secara resmi sebuah kegiatan. Melayani dengan sabar dan hangat saat kita melakukan audiensi. Bahkan ketika sudah tidak berada di Purwokerto dan menjadi salah satu komisaris Pertamina di Jakarta, Pak Sarjono, konon sering menanyakan perkembangan Mayapada kepada teman lain yang kebetulan berjumpa.
  Tetapi ada juga pejabat yang memberi janji kosong. Tahu kan sekretariat kita masih nomaden? Mayapada selalu berpindah sekretariat mengikuti anggota yang bersedia berbagi dan meminjamkan sementara kamar kostnya. Tersebutlah Kepala SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) Purwokerto waktu itu. Siapa namanya saya lupa. Sungguh. Dia menjanjikan Mayapada bisa memakai salah satu ruang disana sebagai sekretariat.Wah surprise kita. Bukan kita yang minta tapi dia sendiri yang menawarkan ketika tahu Mayapada tidak punya sekretariat yang menetap. Senang bukan main dan langsung mengapresiasinya. Langsung kebayang akan terbebas dari repotnya nomaden dan tentu saja lokasi yang strategis di samping gedung pusat Administrasi Unsoed akan membawa nilai lebih bagi perhimpunan. Tetapi tawaran itu kemudian dibatalkan. Pernyataan seorang pejabat negara yang diingkari tanpa penjelasan yang memadai. Meski kecewa tapi saat itu kami maklum terhadap keputusan aneh sebagian aparat negeri kita. Kecewa tapi kita tidak rugi.

3.Periode Pertumbuhan 1985 -1989


   Komposisi pengurus inti adalah Paryono MP (Pereks) yang berhenti antar waktu karena selesai kuliah yang kemudian digantikan Hotma Parulian Sihombing (Atmo), Nurhayati, dan Neni. Pada masa kepengurusan selanjutnya Atmo menjabat lagi, yang didampingi oleh Beni Patipelohi sebagai sekretaris dan Ami Mardina sebagai Bendahara.

   Berselang hanya setahun sejak Perhimpunan mampu membakukan mekanisme penerimaan anggota baru sekaligus pendidikannya, dan berhasil menyelenggarakan GDM 1985 terasa betul gerak roda Perhimpunan menjadi begitu dinamis. Kebosanan terhadap belenggu NKK/BKK generasi lama seakan ditransformasikan menjadi kegairahan baru karena bergabungnya para junior angkatan GDM pertama. Sinergi angkatan lama dan angkatan baru mampu mendorong gerak maju Perhimpunan ke level terdepan, yang sebelumnya tidak pernah tercapai. Kader Mayapada produk GDM 1985 terasa betul berperan dalam pencapaian itu. Mungkin ini menjadi periode paling dinamis dalam perkembangan Mayapada. Saat itu juga kita melakukan amandemen konstitusi kita untuk pertama kalinya, sebagai langkah untuk menyelaraskan dengan ketentuan UU 8/1985 tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas.
   Periode ini juga ditandai dengan digarapnya bidang gerak konservasi alam dengan lebih serius. Seperti kita tahu konservasi alam dan olahraga alam bebas adalah dua medan gerak yang secara bersamaan menjadi konsentrasi kiprah Mayapada. Tetapi dalam penggal waktu ini, bidang konservasi alam mendapat penekanan yang lebih dalam  dibandingakan sebelumnya. Perhimpunan saat itu menyelenggarakan PKA (Pendidikan Konservasi Alam) untuk LSM dan kalangan umum di Purwokerto dengan mengundang keynote speaker George Aditjondro, aktivis sosial lingkungan dan Hari Mulyadi dari Walhi Forda Jateng. Usai menyelenggarakan PKA, Mayapada semakin dikenal sebagai organisasi pecinta alam yang kompeten di bidang konservasi alam, dan membuat Mayapada sering diundang ke beberapa forum diluar untuk membahas masalah terkait konservasi alam. Tidak hanya level lokal, tetapi regional bahkan nasional. Mungkin terminologi "pendekar konservasi" yang sering muncul dalam perbincangan kita bisa dirunut dan bersumber dari pencapaian ini.
   Kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi Mayapada juga muncul dalam wujud permintaan mentoring. Saat itu pihak SMA Yos Sudarso Purwokerto meminta Mayapada melakukan mentoring pembentukan kelompok pecinta alam di sekolah tersebut. Mentoring ini berlangsung sukses, terbentuk kelompok pecinta alam bernama Yodapala disana. Hubungan baik dengan Yodapala berlangsung hingga kelak, dan banyak dari anggota kelompok pecinta alam pelajar itu akhirnya bergabung menjadi anggota Mayapada juga. Ini sepertinya menjadi rintisan program mentoring Perhimpunan di beberapa sekolah lain di kemudian hari.  Sementara itu di kalangan Mahasiswa Unsoed ada kelompok 31 yang semula mempunyai agenda menentang Latdasmil dan kebijakan Rektor memungut uang kesehatan untuk semua mahasiswa. Ketua umum dan beberapa anggota Mayapada merupakan eksponen kelompok ini. Ketika akhirnya common enemy sudah dikalahkan, gelegak energi aktivisme yang masih tersisa harus disalurkan ke kegiatan lain. Saat itu isu lingkungan hidup nampaknya mendapat tempat di hati para aktivis kampus itu, dan dianggap mampu menjadi wahana untuk tetap mempersatukan gerak perjuangan. Inilah embrio bagi munculnya forum dinamika kepecintaalaman Purwokerto di era mendatang, dimana Mayapada mengambil peran yang signifikan. Dalam konteks komunikasi sosial, mungkin ini menjadi periode paling menonjol dalam sejarah Mayapada hingga saat itu.

4. Periode Lima Syuhada 1990 -1993


   Semula ketua umum dijabat oleh Endi Budi Hartoyo (Endi), dengan sekretaris Herman Sumarna (Herman) dan bendahara (Sri Hartiwiek) (Wiwiek). Endi kemudian berhenti antar waktu karena selesai kuliah dan digantikan Satria Ginting (Ginting). Pada masa kepengurusan selanjutnya Ginting didaulat kembali untuk meneruskan tongkat kepemimpinanya. Ia tetap didampingi oleh sekretaris dan bendahara sebelumnya. Tampaknya ini menjadi periode yang berat. Penuh tantangan dan bergulat melewati cobaan tidak ringan.

 Hasrat menggeluti kegiatan terkait konservasi alam terdengar sangat bersemangat. Meneruskan kecendrungan yang terjadi di periode sebelumnya, tetapi di periode ini memunculkan aksi yang lebih jauh. Beberapa anggota menginginkan langkah lebih jauh bahkan sampai menggagas peluang mendirikan sebuah yayasan khusus yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Alasan yang dimunculkan saat itu adalah untuk memberikan keleluasaan gerak dengan penggarapan yang profesional atas permasalahan lingkungan hidup. Hingga akhirnya berdirilah LPLH (Lembaga Pengembangan Lingkungan Hidup), sebuah institusi yang terpisah secara organisatoris dengan perhimpunan. Sebuah yayasan yang bukan milik Perhimpunan meskipun terlahir dari rahim Mayapada. Anggota yang membidani pendirian ini adalah Benni Petepelohi, Bambang Pujiatmoko, Bambang Eko Sumarno dan Hindun HS. Perhimpunan diposisikan sebagai salah satu pendiri diantara empat pendiri lainnya. Kepentingan Perhimpunan direpresentasikan dengan kehadiran ketua umum secara ex-officio bersama empat pendiri lainnya, menjadi Badan Pengurus. Mereka mencatatkan akte pendiriannya di salah satu kantor Notaris di Purwokerto tepat di HUT Perhimpunan: 3/09/1992
   Tegangan antara aktivitas dan program Perhimpunan dengan proses menggodok konsep, riset, menjajagi peluang , dan proses berdirinya LPLH menjadi warna yang cukup menonjol di periode ini. Praktis urusan LPLH membetot cukup banyak perhatian dan stamina Perhimpunan. Sebelumnya tegangan yang hampir sama meski dalam level yang lebih rendah juga terjadi ketika ada aspirasi sejumlah anggota Mayapada yang sudah meninggalkan Purwokerto dan berdomisili di Jakarta, untuk mendirikan cabang Mayapada dan semacam lembaga yang bergerak di bidang lingkungan hidup ibu kota. Meski begitu, tinta emas juga berhasil ditorehkan pada periode ini. Sebuah gelaran yang sangat berbeda: Sarasehan Wanita dan Lingkungan Hidup untuk ibu-ibu PKK se-Eks Karasidenan Banyumas. Mesinergikan peran seorang ibu dalam kegiatan pelestarian lingkungan hidup yang biasaanya kurang dilihat oleh penggiat lain. Ketua panitia Mayapadawati Galih. Ibu Bupati kala itu bertindak menjadi penasehat, yang membuat mobilisasi peserta lebih terbantu. Pembicaranya adalah novelis perempuan ternama NH. Dini. Sarasehan itu sendiri sudah merupakan pencapaian yang menarik, ditambah relasi dengan NH. Dini terjalin dengan amat baik sejak itu. Ia menulis profil Mayapada di harian Suara Merdeka, dan beberapa tulisan lain terkait himbauannya agar masyarakat peduli terhadap lingkungan hidup dimana di dalamnya juga Mayapada dimunculkan. Topik yang belum sepopuler sekarang. Ia terkesan dengan Mayapada yang dinilainya berani bergerak di tataran praksis, di level grassroot. Tidak seperti kelompok lain yang hanya bergerak dan berhenti di kajian konsep melalui seminar-seminar. Ia berharap Mayapada terus melibatkannya dalam kegiatan-kegiatan serupa.
   Seturut namanya, periode ini ditandai dan dipengaruhi oleh peristiwa dramatis wafatnya Argo, Totot, Iwan, Rico dan Nano di gunung Slamet di awal 1993, sekembalinya mereka membuka rute alternatif Baturraden menuju puncak Slamet di awal 1993. Dari kelimanya, Nano memang belum sempat tercatat sebagai anggota Mayapada, tetapi ekspedisi ini adalah ekspedisi Mayapada, dan dia gugur ketika sedang menjalankan misi Mayapada. Nano adalah teman Argo di komplek perumahan karyawan PPTN IX Perkebunan karet Krumput Banyumas, tempat tinggal kedua orang tua mereka. Peristiwa ini memang menyedot perhatian masyarakat luas karena ada juga korban lain dari rombongan gabungan Jakarta dan Purbalingga, sebanyak lima orang juga. Jadi pada penanggalan waktu antara akhir Januari dan awal Februari 1993 itu total ada 10 orang korban meninggal ketika mendaki Slamet. Mungkin ini menjadi peristiwa kecelakaan dengan korban terbanyak di Gunung Slamet sepanjang sejarah pendakian gunung itu.
 Duka Mayapada terasa begitu mendalam. Mereka adalah kader-kader terbaik Mayapada. Argo mungkin menjadi salah satu andalan perhimpunan untuk aktivitas terkait ORAB saat itu. Argo menjadi alumni GDM pertama, yaitu GDM 1985. Ia kala itu masih duduk di bangku kelas II SMA 2 Purwokerto. Rasanya menarik saat itu melihat peserta GDM yang masih pelajar diantara peserta lain yang kebanyakan mahasiswa. Bagi saya sendiri, Argo adalah referensi hidup terbaik Mayapada soal gunung Slamet saat itu. Ekspedisi kali itu adalah ekspedisi kedua. Argo dan Lucky juga terlibat dalam ekspedisi yang pertama bersama tiga teman lain. Lucky nampaknya punya potensi kuat untuk mendampingi Argo menjadi andalan bidang ORAB perhimpunan. Meski berbeda angkatan, kebersamaan mereka di Mayapada mungkin menjadi semacam reuni masa kecil, semasa kedua orang tua mereka sama-sama menjadi karyawan PTPN IX Jateng dan tinggal di komplek perumahan yang sama. Karena itu, mungkin keduanya menjadi semakin solid mengembangkan ekspedisi ini.
   Aktivitas Mayapada di wilayah jejaring kerja nampaknya menjadi bagian penting dari pencapaian Perhimpunan di periode ini. Pada level lokal, Mayapada menjadi inisiator dan motor jaringan kerja bersama organisasi pecinta alam Purwokerto dengan nama Fordik, akronim dari Forum Dinamika. Akar dari jaringan kerja ini sudah mulai dirajut sejak periode sebelumnya, tetapi mencapai kepenuhannya di periode ini. Beberapa pekerjaan yang bisa kita selesaikan melaui jaringan ini: bersih Gunung Slamet, sweeping pengambilan eidelweiss jalur Bambangan, Latsar gabungan, dan pembuatan prasasti lima martir di tempat mereka ditemukan.


   Kiprah kita di tingkat regional melalui jaringan LSM Jateng juga cukup signifikan. Kita dipercaya menjadi koordinator dan mengelola pusat informasi untuk Jateng bagian selatan. Jaringan ini dibentuk untuk advokasi PLTN G. Muria, pencemaran Bengawan Solo, pencemaran sungai oleh industri batik di Pekalongan dll. Mayapada mencoba mendesakan isu program BATDC (Baturraden Agriculture Tourism Developming Centre) dan menjadikan G. Slamet sebagai Taman Nasional melalui jaringan ini.
   Sementara itu, kepercayaan khalayak terhadap eksistensi Mayapada juga semakin terlihat. Permintaan pendampingan bagi kelompok pecinta alam SLTA makin berdatangan. Program mentoring di Yodapala masih tetap dijalankan, ditambah melayani satu kelompok lagi di SMAN Banyumas.

5. Periodisasi Konservasionis 1993 - 1995

  
   Komposisi pengurus inti adalah Bambang Supriyanto (Gambreng), Muhammad Nasir (Nasir), dan Purwanti (Ipunk). Nampaknya pengerahan kekuatan dan potensi Perhimpunan lebih terkonsentrasi pada bidang bidang konservasi dibandingkan mengeksplorasi bidang ORAB di periode ini. Setidaknya aktivitas di alam bebas bergaung cukup keras dan itu sering menjadi entry point aktivitas terkait konservasi alam. Mungkinkah akibat luka psikologis dari kepergian lima martir Mayapada yang belum sepenuhnya hilang ? hasrat kembali berpetualang ? Jawabannya: sangat mungkin. Tetapi saya menduga keberadaan dan kehadiran LPLH sejak periode sebelumnya nampak menjadi pemicu yang lain. Entah suara yang mendukung atau suara yang masih meragukan sumbangannya bagi keberadaan Perhimpunan menjadi nuansa yang mewarnai dinamika Perhimpunan saat itu.
  Tetapi menariknya, alih-alih memunculkan dampak profesionalitas kelembagaan seperti yang sering diorasikan oleh para penggagasnya, dalam perjalanan selanjutnya LPLH justru mengalami semacam ketidakpaduan internal yang berujung dengan pemberhentian dua anggota Badan Pengurusnya. Hebatnya lagi, itu terjadi ketika LPLH masih seumur jagung. Belum juga menunjukkan kiprah apapun di bidang lingkungan hidup sebagai medan geraknya tetapi harus segera mengakhiri mimpi-mimpinya. Penyebab sesungguhnya memang tidak jelas. Tetapi pada tataran konsep sendiri sudah mengandung kelemahan. Dan diantara yang tidak jelas itu, pastinya Perhimpunan memang yang kemudian harus menanggung getahnya dengan membagikan perhatian kepada persoalan itu. Praktis pada periode ini Perhimpunan juga harus ikut jumpalitan menanggug beban ikut mencarikan solusinya.
   Pengaruh kepergian lima martir begitu merasuk dalam sanubari insan Mayapada. Tak satupun dari kita memang yang imun dari haru biru kepergian mendadak lima saudara seperhimpunan ini. Pada periode ini duka itu masih tersisa, dan luka psikologisnya masih belum sepenuhnya hilang. Bertahun-tahun sejak kejadian itu , tak sekalipun Mayapada menyelenggarakan ekspedisi ke Slamet lagi. Ada beban berat yang seakan menggelayuti langkah kita menyambangi kembali Slamet yang pernah seperti menjadi seperti gunungnya  kita sendiri. Seakan membuat kita tak sanggup untuk bertemu jejak dan petilasan mereka di puncak Slamet, karena tak sanggup membayangkan kesedihan yang akan muncul. Beban psikologis sebagai akibat dari kesedihan mendalam sebuah kehilangan. Kelak, hampir delapan tahun kemudian baru ada yang bisa menziarahi petilasan mereka di Puncak Slamet. Sebuah ekspedisi kecil beranggotakan enam Mayapadawan pada akhir April 2000 digelar sebagai rangkaian acara "Mengenang Sewindu Gugurnya Lima Saudara" yang sekaligus juga menjadi ikhtiar untuk menyembuhkan luka psikologis itu. Ekspedisi ini didahului dengan ziarah ke makam masing-masing dan silaturahmi dengan keluarga almarhum.
   Aktivitas di jaringan kerja dan program mentoring ke beberapa kelompok pecinta alam sekolah masih menjadi warna di periode ini. Ini menjadi pencapaian yang menarik, sebagai sumbangsih Perhimpunan untuk masyasakat. Tradisi menyelenggarakan JPA (Jambore Pecinta Alam) untuk tingkat SLTA se-Eks Karasidenan Banyumas juga masih dilangsungkan di periode ini. Tetapi saya mendengar jumlah pesertanya hanya tujuh regu. Barangkali ini menjadi pencapaian terburuk dalam sejarah penyelenggaraan JPA, setidaknya jika ditinjau dari jumlah peserta. Memang ini memang menjadi JPA terakhir hingga saat ini. Sementara untuk rekrutmen anggota dan pendidikan intern, juga dilaksanakan GDM 1993 dan GDM 1994 dan mengalami hal yang sama, yaitu minimnya calon anggota yang mendaftar. Tetapi apakah memang hanya minat khalayak yang sudah sedemikian menurun penyebabnya ?

6. Periode Awal Kejatuhan Orba, 1995 -1996


   Komposisi pengurus di periode ini adalah Pengki, Uwi, dan Koko. Sekali lagi pergolakan Republik berpengaruh terhadap dinamika Perhimpunan. Pengki, ketua umum saat itu menjadi bagian partai anak muda paling progresif sepanjang sejarah pegerakan Indonesia: PRD (Partai Rakyat Demokratik). Pengki merupakan eksponen dan salah satu deklarator SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), organisasi sayap PRD untuk mahasiswa di Purwokerto. Celakanya, Perhimpunan seakan menyesuaikan dengan perkembangan politik saat itu. Menyelaraskan gerak dengan situasi saat itu untuk memberikan jalan bagi kepentingan yang lebih luas. Bukan hanya kepentingan PRD. Bukan pula hanya kepentingan menumbangkan rezim lalim Soeharto. Tetapi kepentingan gerakan pro-demokrasi untuk menghadirkan sistem kenegaraan yang lebih pro rakyat dan demokrasi yang lebih sehat. Kita seakan merelakan ketua umum untuk berbagi konsentrasi dengan beberapa pekerjaan partainya. Juga seperti menyediakan sekretariat untuk rapat-rapat partai sekaligus sebagai fasilitas "akomodasi gratis" untuk ketua umum PRD Budiman Sujatmiko dan ketua Presidium SMID, Andi Arif kalau sedang mengadakan konsolidasi partai ke Purwokerto dan sekitarnya.

    PRD akhirnya dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh rezim Soeharto. Tokoh-tokohnya ditangkapi dan dijebloskan ke penjara. Konon Pengki ditangkap saat mengikuti KKN. Dia tidak sampai dipenjara tetapi hanya menginap beberapa hari untuk interogasi dan harus beberapa kali memenuhi panggilan pihak kepolisian dan dihadirkan sebagai saksi pada sidang tokoh PRD lain di Jakarta. Tetapi ketua umum masih sempat memberikan mandat kepada sekretaris untuk menjalankan roda kepengurusan selanjutnya. Karena sudah sangat lama, surat mandat itu sudah tidak bisa ditemukan lagi. Menurut Koko, sejauh yang bisa dia ingat, Pengki memberikan mandat kepada Koko untuk waktu sebulan. Setelahnya dia akan kembali meneruskan roda kepemimpinannya. Tetapi tidak tahu pastinya, hanya saja yang pasti peristiwa itu mengiringi langkah pengurus Mayapada masuk dalam penjara ketidakmampuan menjalankan fungsinya. Pengki pada saat itu, yaitu mendorong kepengurusannya terjerembab dalam kubangan ketidakberdayaan meneruskan roda kepemimpinan organisasi sepanjang hampir 16 tahun kemudian!.
   Sebelum ditangkap, ketua umum masih memimpin Perhimpunan untuk bisa menyelenggarakan GDM 1996. Catatan pentingnya adalah ini menjadi GDM terakhir, sebelum pengurus memasuki periode tidur panjang. Sejauh ini tidak ada yang ingat jumlah lulusannya, tetapi beberapa diantaranya adalah: Desi, Sara, Siti, Fian, Hulk, Sari Gajah, Badai, Ririn Cunonk, dan Billy. Mereka menjadi putra-putri bungsu Mayapada saat itu. Berselang waktu setahun sebelumnya pengurus periode ini juga melangsungkan GDM 1995. Jumlah lulusannya juga tidak bisa ditemukan data yang pasti hingga saat ini. Tetapi diantara mereka itu ada nama-nama: Pendel, Lina, Cunonk, Black, Yuyon, Kucir, dan Ateng. Meski hampir saja membuat Perhimpunan dikafani, dalam pandangan saya selayaknyalah kita juga mengapresiasi Pengki dan teman-teman pengurus lainnya atas komitmen mereka bagi proses regenerasi Perhimpunan. Karena selain memang begitulah seharusnya keadaban sosial kita hayati, juga karena sebagian lulusan GDM 1995 dan GDM 1996 itu menjadi tulang punggung lapangan dari gerakan mengembalikan kiprah Mayapada saat ini. Gerakan aspirasi arus bawah untuk mengembalikan potensi pengurus Perhimpunan yang lebih berdaya dan berguna.

7. Periode Hibernasi 1997 -2013


   Hibernasi saya adopsi dari kata bahasa Inggris "Hibernate" yang berarti tidur panjang sepanjang musim dingin Makna itu pula yang saya ambil untuk menggambarkan kondisi Mayapada di periode ini, yaitu tidur panjang selama hampir 16 tahun. Saya memilih kata ini dibanding kata yang lain yang sering diwacanakan oleh teman-teman, yaitu kata mati. Hibernasi menurut saya lebih cocok karena masih adanya napas. Oksigen yang berhembus di paru-paru segenap insan Mayapada yang memunculkan daya hidup. Sepanjang 16 tahun itu saya melihat dengan jelas napas itu masih ada, meskipun lirih lemah. Meski napas itu tersengal-sengal tapi itulah tanda kehidupan. Selanjutnya juga ada dengkur yang terdengar sangat keras, yang masih saya representasikan dalam sosok pemberi dan penerima mandat yang masih eksis. Masih ada di Tegal Purwokerto. Tidak pergi ke tempat atau alam lain. Masih mampu berkomunikasi dengan Mayapadawati-Mayapadawan lainnya, meski kualitas komunikasinya buruk.

   Tetapi memang pada awalnya pengurus juga tidak langsung menuju peraduan panjangnya. Terlihat sesekali Koko menunjukkan inisiatifnya. Paling tidak ada dua kegiatan cukup besar yang diselenggarakan Mawapadawati/Mayapadawan Purwokerto, yang sangat boleh jadi atas sepengetahuannya, : penghijauan di Gunung Tugel dan pelatihan SAR untuk pelajar STA. Bahkan Koko juga menjadi anggota milis yang cukup apresiatif, dan sempat datang juga di salah satu kesempatan "copy darat" di Grendeng. Koko bukan sama sekali tidak berusaha membuat perhimpunan terjaga kembali, tetapi upaya mungkin tidak cukup keras untuk membuat dengkur berhenti dan membuat langkah yang berarti. Inisiatif dan semangatnya kurang bisa kita baca dan terkesan menutup dialog.
   Semua mereaksi kondisi ini. Hampir semua menyayangkan. Mulai dari sekedar prihatin, bahkan mengumpat, melontarkan keinginan sampai yang menggagas sesuatu yang lebih konstruktif. Umpatan atau mungkin sebenarnya ratapan yang pernah sering dilontarkan adalah memplesetkan Mayapada menjadi "MAYATPADA". Setiap ada kesempatan bertamu atau sekedar bertelpon diantara sesasma anggota, selalu muncul keinginan untuk berbuat sesuatu. Rasanya semuanya ingin mencari solusi. Tetapi jebakan utama yang paling sering menghentikan langkah adalah tetap membiarkan rencana tetap tinggal menjadi rencana. Bahkan reaksi bukan hanya datang dari kalangan internal Perhimpunan. Pupung, seorang simpatisan, memprakarsai dan menjadi "sponsor" family gathering dan tea walk Mayapada Jakarta pada 2010. Ia dibantu Rochaetin (Incu), Paryono Muljopawiro (Perek), Dafasman Gunawan (Ogelz) dll mengorganisir acara yang dilangsungkan di perkebunan teh Gunung Mas itu.
   Mungkin upaya yang lebih serius untuk pertama kalinya adalah yang dilakukan Kentir. Tahun 2002 ia memprakarsai semacam reuni anggota. Bertempat di Villa Sylva Camping Ground Baturraden. Kentir menanggung sendiri hampir seluruh biaya untuk acara itu, karena seingat saya saweran yang bisa kita himpun hanya bisa sedikit untuk menutup ongkos. Saya tidak ingat berapa persisnya yang hadir. Tetapi cukup banyak. Barangkali lebih dari 25 orang. Pertemuan itu sendiri lebih menjadi ajang memuasi kerinduan sesama saudara dan mencoba menyampaikan pesan moral kepada pengurus de-jure masih ada untuk kembali menjalankan fungsinya. Sebagai Pemrakarsa Kentir sukses. Tetapi himbauan moral itu ternyata tidak ditanggapi pengurus, termasuk pemegang mandat ketua umum tentu saja.
   Mengisi kekosongan akibat himbauan moral yang tidak ditanggapi, beberapa anggota tetap menghidupi semangat Mayapada dengan acara masing-masing. Ada yang mendaki ke gunung Gede dan gunung Slamet untuk merayakan HUT Perhimpunan ke 29 dan ke 32, mendaki gunung Semeru, berarung jeram di Progo dan Serayu dan banyak lagi. Kembali pada November 2006 tanggal 17 'ndoet mengkonstruksi sebuah milis Yahoo Group dengan nama grup Mayapadawatiwan. Memang inisiatif ini lebih untuk membuka ruang komunikasi diantara kita yang selama ini terhambat. Dalam terminologi khas Banyumas sebagai sebuah ruang sosial untuk gendu-gendu rasa. Tetapi kalau kemudian muncul buah untuk memang mendorong prakarsa lebih jauh bagi berkibarnya kembali Mayapada adalah pencapaian yang memang diharapkan. Banyak diskusi yang dilakukan milis ini. Mulai dari topik fotografi sampai wacana untuk membuka kemungkinan RUA online. Dokumen yang dipublish juga beragam, termasuk yang cukup signifikan adalah gerakan Ngumpulna Balung Pisah. Tercatat sejumlah 51 member bergabung, meskipun beberapa merupakan spam. Jumlah yang lumayan untuk situasi dimana kegairahan bersosial media belum sekuat sekarang. Sayangnya sang inisiator tidak mampu mengorganisir lebih jauh lagi dan gagal me-recharge energinya sehingga ruang sosial Mayapada pertama kali di ranah maya itu kurang perform lagi akhirnya, sehingga tidak lagi mampu membuka jalan lebih lebar bagai terjaganya kembali Mayapada dari tidur panjangnya kala itu.
    Lalu, sepertinya Penguasa Semesta Alam ikut campur tangan dengan memilihkan momentum yang tepat. Atmo "bercerai" dengan Pfizer, mengcompany tempatnya "merumput"sejak ia lulus lebih 18 tahun lalu. Atmo bersedia membagi energi dan konsentrasi lebih banyak untuk upaya ini. Pada Oktober 2013 ia camping bersama teman-teman Mayapada Purwokerto di Kalipagu, mencoba memetakan persoalan. Dan sebulan kemudian dalam satu kesempatan camping di Cibubur yang diorganisir Mayapada Jakarta, Atmo didaulat memimpin gerakan "arus bawah" untuk membangun kembali Mayapada. Atmo menggandeng Netty Monoarfa untuk membantunya melakukan "fund rising" dengan cepat. Duo Atmo-Netty menjadi gairah baru Mayapada. Berkat kecanggihan di bidang ICT, dan terutama kapasitas mereka berdua, sosialisasi rencana Temu Akbar Mayapada 2013 bergaung amat cepat dan berangsur-angsur menjadi gagasan yang masuk akal. Dibuat grup Mayapada di media sosial Facebook, BBM, dan What'sApp untuk semakin menggemakan gagasan dan........
   Atmo mem-breakdown gagasan yang cukup absurd itu menjadi detail-detail rencana aksi yang cukup operasional, dan tetap mengedepankan konstitusi sebagai acuan gerak dengan memeberikan tongkat komando pada pemegang mandat. Tetapi karena yang bersangkutan mungkin sudah patah arang, ia tidak juga mengapresiasi kehormatan itu dan menunjukkan tanggungjawabnya. Tetapi show must go on. Koko seperti tidak bisa menunjukan itikad baiknya. Tak sekalipun datang di setiap kegiatan. Dihubungipun juga tak bisa. Sementara Pengki menunjukkan kecendrungan yang hampir sama. Saya hubungi di dua nomor, namun tetap saja tidak bisa. Sebelumnya saya mengirimkan sms ke dua nomor tadi juga tidak ada respon. Begitu pula ketika saya BBM.
   Mayapada Purwokerto menjadi tulang punggung gagasan kembalinya Mayapada. Paling tidak sekarang masih ada Sutras, Dodi, Conef, Black, Hulk, Dessy, Likin, Sara, Bubul, Amri, Ateng, Ermawan and last but not least Kenthir. Tanpa mereka di garda depan rencana sebagus apapun akan menjadi tumpul. Rencana aksi mengalami beberapa kali penyesuaian, juga semakin disempurnakan dengan masukan yang lebih jitu.  Akhirnya program pertama , seminar dengan tema "Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Slamet sebagai Sumber Air" diselenggarakan pada tanggal 25 April 2013 di Kemangi Cafe & Resto Purwokerto. Moderatornya tentu saja ahli air Mayapada yang menjadi konsultan World Bank: Bambang Pujiatmoko (Bembeng). Kegiatan dalam rangka menyambut Hari Bumi ini sekaligus sebagai test case mengukur respon publik. Seminar dengan ketua panitia Sutras ini menangguk sukses, dan mendapat respon yang luar biasa. Pesertanya 67 orang, dua kali lipat lebih banyak dari yang ditargetkan.
    Alam raya seakan menguatkan momentum ini, sepertinya seluruh simpul Perhimpunan tergerak secara serentak. Yang lama tak terlihat sekarang muncul. Segera kemudian program kedua dipersiapkan dengan dukungan yang makin penuh. GDM kemudian dilaksanakan pada tanggal 14-15 Juni 2013, dengan komandan Dodi. Di luar dugaan kita semua, peserta yang berhasil lulus dan dilantik sebanyak 30 orang. Suatu jumlah yang jauh diatas ekspetasi.
     RUA dilaksanakan tanggal 24/25 Agustus 2013, mundur seminggu dari rencana semula. RUA ini menghasilkan beberapa keputusan, satu yang amat penting adalah memilih pengurus inti periode 2013 - 2015. Ini menjadi pencapaian yang amat bermakna bagi semua. Menjadi keberhasilan kita semua menggapai momentum berakhirnya periode hibernasi. Konstitusi Mayapada menunjukkan RUA adalah sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi. RUA biasanya dilaksanakan oleh pengurus tetapi karena pengurus tidak bisa melaksanakannya, anggota bisa menyelenggarakan RUA asal didukung minimal seperlima jumlah anggota. RUA semacam ini disebut RUA istimewa, karena diselenggarakan untuk mengatur keperluan yang bersifat istimewa. RUA terakhir kemarin itu dikategorikan sebagai RUA istimewa karena tidak hanya didukung oleh lebih seperlima anggota, tetapi hampir seluruh anggota, dengan agenda menyelamatkan Perhimpunan dari kecendrungan tidur untuk selamanya. Congratulations for Conef Saferianus sang ketua panitia, dan untuk kita semua karena berhasil menyelenggarakan RUA lagi sejak RUA terakhir 1995. #VivaMayapada

.......TO BE CONTINUED ON PART II..….